Pemimpin adalah bagaikan pengemudi. Tidak boleh pilih jalan yang macet Di kepala pemimpin itu bagaimana membawa semua tanggung jawabnya dengan selamat mencapai tujuan secepat-cepatnya sehingga semua yang terkait mendapatkan rahmat dan perlindungan padanya. Kalau bisa gampang dan menyenangkan maka jangan membuat segalanya menjadi sudah dan ribet.

Pemimpin yang baik, yang lebih cepat dalam memecahkan masalah dan hasilnya maksimal. Kewibawaan dan penghormatan anak buah lahir dari ketulusannya melihat prestasi demi prestasi yang dirasakan terjadi. Kalau pemimpin makin mau dihormati makin perlihatkan prestasi. Seorang pemimpin yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang lebih banyak, menjadi booster atau penguat kewibawaan dan ketokohannya. Jadi dia terhormat kalau makin banyak kadernya atau anak buahnya menjadi pemimpin.

Tapi ingat pemimpin adalah tumpuan harapan, minimal harus menjadi teladan kebaikan. Dia menjadi bapakdan teman dalam memecahkan masalah. Dia diharapkan menjadi pembela kebenaran dan keadilan, bahkan dia perisai dan pelindung bagi anak buahnya dikala terjadi kecerobohan dan kesalahan.

Seorang pemimpin bahkan terkadang dilematis dalam mengambil keputusan. Bagaikan berada ditepi jurang, bagaikan menghadapi situasi melawan ibu macan yang siap menerkam atau lompat ke jurang yang penuh batu. Ayo! Pilih mana? Jawab! Yang menjadi catatan serius adalah pemimpin boleh keras dan boleh marah tetapi tidak kasar. Adat Bugis-Makassar melarang kita menghina dan mempermalukan orang di depan umum, keluarganya, terutama di depan istri dan anaknya. Kamu juga boleh kaya tetapi kaya yang “siratang” (bahasa Makassar “kaya yang sesuai kondisi tidak dipaksakan”). Kaya yang bukan hasil menipu dan mencuri, termasuk korupsi.

Kita adalah pemmpin pilihan Allah. Jaga nikmat yang ada dengan mensyukurinya. Jadikan tugas ini ibadah. Kita berdoa di akhirnya khusnul khatimah.  Aamiin. Salamakki.

 Yogyakarta-Makassar, 30 Maret 2015