ORANG Makassar mengenal kata “dudu” yang berarti “terlalu” atau kelewat. Berkaitan “dudu” inilah, saya mendekatkannya pada kalimat yang berkaitan “terlalu”. Misalnya, “terlalu cinta” atau “cinta dudu”

      Memamg, ada yang bilang kalau kau cinta jangan sampai keterlaluan dan menjadi cinta buta yang habis-habisan. Begitu pula, kalau kau benci maka jangan benci berlebihan karena itu bisa berakhir dengan kesengsaraan dan kematian. Kalau begitu, mencintailah tetapi jangan sampai cinta dan benci sampai mati atau “cinta dan benci dudu”.

      Mengapa jangan “dudu” atau “terlalu”? sebab, terlalu cinta atau terlalu benci membuat kit memandang sesuatu secara taklid buta. Katakanlah, karena cintamu harus membahagiakanmu dan bencimu jangan tambah susah dan makin membuatmu sengsara. Kalau begitu, cintalah dan bencilah tetapi yang biasa-biasa saja. Jangan pakai terlalu. Bukan “dudu”

      Pasalnya, cinta maupun benci itu mengandung bara dan energi yang dahsyat dan berbahaya karena bisa membuatmu nekat, emosional, histeris, dan lain-lain. Kata “terlalu” itu bisa mewujudkan tindakan heroik yang tidak bisa diprediksi bergerak dan melakukan wujudnya kadang tanpa kendali – ibarat kalau cinta dan benci, maka tembok tinggi yang logikanya tidak bisa dilewati dan dijebol itu bisa terjadi atas nama cinta dan benci.

      Akan tetapi, bila cinta dikelola dengan positif, misalnya cinta pada kerja dan pengabdian yang normatif,maka dia akan menjadi prestasi. Sebaliknya benci mati itu maka sesuatu yang harus diwaspadai karena bisa berujung dengan perbuatan menyakiti, membunuh, melakukan tindakan sadistis yang tidak kita perkirakan sebelumnya.

      Kalaulah begitu, biasa-biasa sajalah! Jika kau cinta atau benci, yang sedang-sedang saja dan arahkan ke arah yang positif. Jangan terjebak dengan kata “dudu” atau “terlalu”, sebab kamu bisa sangat emosional dan membunuhnya!

     

                                                                              (Surabaya-Makassar, 7 Oktober 2014)