Dari berbagai penelitian, ternyata orang bersepakat bahwa dalam diri seseorang ada tiga hal yang senantiasa ikut menjadi pendorong dari langkah aktifitas dan perbuatannya. Yakni, hadirnya relung-relung dari pendekatan intelektual, emosional dan amanah agama.

Pendekatan intelektual mendorong mereka untuk berfikir seperti apa dirinya dan apa yang dia dapat dari kemampuan-kemampuan yang dia miliki. Tetapi dibalik pendekatan intelektual itu hadir pula pendekatan-pendekatan emosional. Pendekatan emosional adalah tidak lain menghadirkan empati kemanusiaan dalam kehidupan kita. Artinya kehadiran seseorang senantiasa berhubungan seperti apa dia terkait dengan orang lain, seperti apa dia terkait dan berhubungan dengan alam semesta dan lingkungan yang ada disekitarnya.

Orang hanya bisa dikatakan baik tidak hanya karena tidak hanya karena dia punya kemampuan ilmu pengetahuan dan kemampuan menguasai teknologi yang ada, tapi juga memiliki pendekatan emosional yang berbentuk empati. Empati itu artinya apa yang kita rasakan baik, maka lakukan juga pada orang lain kebaikan itu. Jangan cubit orang lain kalau  ternyata cubitan itu juga menyakiti diri kita. Jangan mengambil hak orang lain, karena itu juga tidak enak pada dirimu.

Pendekatan emosional juga terkait dengan kalau saya senang kalau banyak teman yang membantu saya, lakukan juga hal seperti itu pada orang lain. Kita harus menjadi teman yang mau menolong menjadi pendamping, menjadi orang yang bisa memberi sharing terhadap orang lain, sehingga orang lain menjadi bahagia.

Dua pendekatan tersebut akhirnya menyadarkan seseorang bahwa dia memiliki agama yang kuat, karena pendekatan intelektual, pendekatan emosional, pada gilirannya juga akan memperkuat seseorang memiliki pijakan yang kokoh bahwa dia menjalankan amanah ibadah. Keseharian langkah, pada gilirannya menjadikan dia makin dekat pada Allah. Dia menjadi orang-orang yang konsisten melaksanakan sunnatullah.

Tiga pendekatan ini adalah satu kesatuan yang holistik. Tetapi bagaimana dengan orang-orang yang hanya memiliki kemampuan untuk berorientasi pada pendekatan intelektual semata ? Bagaimana dengan orang-orang yang kemudian hanya dekat dengan pendekatan agamanya yang dogmatis semata, tapi kehilangan pendekatan humanistiknya, pendekatan emosionalnya ? Yang seperti ini kadang-kadang akhirnya kita melihat ada orang yang kemudian tega atas nama dogma, mengorbankan orang lain, menjadi teroris yang mengebom kiri-kanan karena kehilangan empatinya. Oleh karena itu memang dalam Islam bahkan dikatakan, hadirkan pendekatan sunnatullah. Hablum Minallah wahablum Minannas harus sejalan. Semoga tiga pendekatan itu, senantiasa jalan seiring dalam kehidupan kita.*