Kala kecil, saya diajari oleh ayah membuat kursi. Kursi dibuat dari kayu jati yang kuat. Ia ketam. Ia cat. Namun kursi itu lebih mirip bangku yang pakai sandaran kayak kursi anak SD. Dan saya spontan berkomentar bahwa kursi itu sangat jelek. Ia kemudian mengajari saya tentang makna kehidupan bahwa apa saja yang kita buat selalu ada yang baik dan ada yang jelek. Bahkan orang Makassar bilang “teako gauki punna nicallai” artinya jangan berbuat jika takut dicela.  Hakikatnya, apa saja yang kita lakukan harus benar.

Kemudian ayah saya bertanya,”Kursi ini sisi baiknya apa yang kau lihat?” dan, saya berfikir sejenak lalu menjawab “Kursi ini tahan lama dan kuat.” Setelah itu, ayah saya langsung berkata, apalagi yang kita lihat? Saya berujar: Lebih dari lima tahun, kursi ini tidak rusak”.

Dia langsung menimpali,”Wah itu luar biasa”, Pun, ia tegaskan bahwa sesuatu yang kita buatnya mempunyai daya tahan manfaat lebih dari satu bulan saja, itu sudah luar biasa, apalagi kalau lima tahun lebih, 10 tahun lebih, hingga waktu yang begitu panjang. Maka sebenarnya, kejelekan yang ada itu akan tertutup dibandingkan dari sesuatu perjalanan yang panjang yang kuat dan tahan. Oleh karena itu, hidup yang harus dicari adalah makna yang berarti seperti halnya kursi yang kuat dan tahan serta punya manfaat.*