PEMIMPIN seharusnya adalah mereka yang tidak diragukan kemampuan, kebaikan, kearifan, selalu terasa niat baik untuk melindungi dan menabur rahmat serta kemaslahatan bagi yang dipimpinnya. Kalau dia tegas menyikapi sesuatu, tidak lain adalah bagian untuk menjunjung tinggi aturan hukum, netralitas yang objektif mewujudkan kecintaan pada keadilan.

            Pemimpin harus telah teruji di dalam keberpihaknya pada yang lemah demi kesejahteraan yang merata. Dia begerak tidak sekedar percitraan yang di-“skenario”-kan, apalagi pencitraan hebat dengan menggunakan uang dan kekuasaan perilakunya penuh ketulusan. Bergerak apa adanya. Bila memerintah, senantiasa menjadi teladan untuk di taati. Dia akrab dengan semua orang termasuk lawan-lawan politikya. Jika dia khilaf atau salah sebagai manusia biasa, dia mau minta maaf.

            Kepemimpinan tersebut di daerah Bugis-Makassar bukanlah hal baru. Di lontarak, dikatakan bahwa “kamu baru pemimpin yang baik kalau bisa menjadi anak buah yang baik, karena tidak ada yang tidak ada pemimpinnya kecuali Allah”. Seperti nasihat bijak leluhur, “iyaji antu karaeng, somba, punna biasa akkaraeng na annyomba. Punna nia’ baraninu pasti nia’ appasingkammainnu. Punna nia’ baranini pasti nia’ tau angkulai angngewaiko. Teako barebbesangi rewanu punna teako matesiriki”, bahwa, “kamu bisa menjadi pemimpin jika mafhum akan dipimpin, bila kamu berani maka akan ada orang lain yang dapat menyamaimu, bila kamu melawan maka akan ada orang dpat melawanmu, maka janganlah mengumbar keberanian jika kamu tidak ingin dipermalukan”.

            So? Mari kita menjadi pemimpin yang baik ala raja di tanah Bugis-Makassar, yang baik hati, sopan, dan disayangi oleh banyak orang.

 

 

(Jakarta, 4 November 2013)