Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) Sulawesi Selatan (Sulsel) optimistis mencapai target Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) sesuai dengan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sulsel. Targetnya hingga tahun 2018, IKLH bisa mencapai 65,00 - 66,00.

Kepala Dinas PLH Sulsel, Ir H Andi Hasbi Nur MT, menjelaskan, IKLH  di tahun 2013 hanya 63,00 - 63,67 dan di tahun 2018 ditargetkan hingga 65,00 - 66,00. IKLH tersebut diukur dari tiga aspek, yakni kualitas udara, air, dan luas tutupan hutan.

"Kami optimistis mencapai target ini, karena seluruh SKPD terlibat di dalamnya. Misalnya, di sektor transportasi yang mempengaruhi kualitas udara butuh dukungan Dinas Pekerjaan Umum. Terkait tutupan lahan, ada keterlibatan Dinas Kehutanan," kata Hasbi, saat Pemaparan Program Strategis SKPD Lingkup Pemprov Sulsel, di Kantor Gubernur, Rabu (8/2).

Hasbi mengungkapkan, ada tujuh program yang dilaksanakan untuk mencapai target tersebut. Terdiri dari empat program prioritas dan tiga program penunjang. Adapun program prioritas, antara lain pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, perlindungan dan konservasi sumber daya alam, pengembangan kapasitas pengelolaan lingkungan hidup, dan penataan hukum lingkungan hidup. Sementara, untuk tiga program penunjang, seperti pelayanan administrasi perkantoran, peningkatan kapasitas kinerja SKPD, dan peningkatan pengembangan sistem perencanaan dan sistem evaluasi kinerja.

"Program-program ini kami jabarkan ke dalam 38 kegiatan. Dalam program prioritas ada 27 kegiatan, sementara program penunjang 11 kegiatan," ungkapnya.

Ia memaparkan, beberapa kegiatan yang akan dilakukan dalam meningkatkan IKLH, diantaranya melakukan akreditasi terhadap 40 parameter lingkungan hidup, program Adipura, Adiwiyata, bank sampah, hingga membuat percontohan penangkaran. Tahun ini, pihaknya menargetkan meraih 10 Piala Adipura dimana tahun lalu hanya enam kabupaten/kota. 

"Dari sisi manajemen, kami berupaya mengikuti standar internasional. Mulai dari pengelolaan laboratorium, penanganan K3, hingga pengelolaan lingkungan hidup," ujarnya.

Khusus pengelolaan limbah B3 khususnya medis, Hasbi membeberkan, menjadi fokus Dinas PLH Sulsel. Meskipun seluruh rumah sakit di Sulsel telah memiliki insenerator, tapi mereka belum memahami aturan dalam menggunakannya. Sedangkan, puskesmas hampir semuanya belum memiliki insenerator. Karena itu, tahun ini Dinas PLH Sulsel akan mengadakan insenerator yang bisa dimanfaatkan daerah-daerah di Kawasan Mamminasata.

"Dulu, banyak rumah sakit yang dapat bantuan insenerator dari Kementerian Kesehatan. Tapi, pihak rumah sakit tidak terlalu paham terkait aturannya. Misalnya, saat mengoperasikan suhunya minimal 800 derajat. Belum lagi biaya operasionalnya yang sangat tinggi. Padahal berdasarkan aturan, limbah medis harus dimusnahkan dalam waktu 2 x 24 jam," bebernya.

Menurut Hasbi, jumlah limbah medis Sulsel sekitar 10 ton per bulan. Bagi puskesmas atau rumah sakit yang belum memiliki insenerator, mereka harus membayar Rp 35 ribu - Rp 45 ribu per kilogram ke pengumpul tenaga medis.

"Pengadaan insenerator menggunakan dana sharing dengan pemerintah pusat, yang rencananya ditempatkan di Kawasan Industri Makassar. Kapasitasnya, bisa sampai empat meter kubik per hari. Insenerator ini harganya yang paling murah sekitar Rp 1 miliar," kata Hasbi.

Selain limbah medis, Dinas PLH Sulsel juga mengawasi secara ketat limbah perusahaan. Setiap tahun, ada program penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan yang dikembangkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), untuk mendorong perusahaan meningkatkan pengelolaan lingkungannya.

"Saat penilaian, yang masuk kategori hitam, pasti pengelolaan limbahnya tidak jelas. Tahun lalu, ada empat perusahaan," imbuhnya. 

Rabu, 8 Februari 2017 (Dw/Na)