Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo, meminta petunjuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal kebijakan diskresi. Pasalnya, kebijakan diskresi bisa saja bersoal secara hukum.
"Ada banyak tantangan yang kami hadapi di daerah. Misalnya, jika ada sebuah gerakan besar yang terdeteksi, tentu saja kepala daerah tidak boleh diam. Harus ada pendekatan persuasif yang dilakukan. Nah, uangnya dari mana? Itu diskresi. Tapi bagaimana sebenarnya batasnya? Itu yang kadang kami tidak paham, karena tidak ada juga aturan yang jelas soal itu," kata Syahrul, dalam Ramah Tamah bersama BPK RI, di Rumah Jabatan Gubernur, Minggu (8/1/2017).
Pada acara yang juga dihadiri gubernur se Kawasan Timur Indonesia (KTI) tersebut, Syahrul mengungkapkan keresahannya. Menurutnya, di saat situasi kemajuan teknologi dan perkembangan berbagai media sosial yang tidak bisa dibendung akselerasinya, menjadi tantangan baru yang cukup menggelisahkan. Karena itu, BPK harus melindungi pemerintah daerah karena berita hoax.
"Mudah sekali orang lapor ke KPK, mudah sekali lawan politik, orang yang tidak senang, orang yang kalah tender, semua main media sosial dan macam-macam. Kalau semua ini tanpa saringan, semua orang bisa periksa kami, tidak ada lagi yang bisa lindungi kami. Kalau begini susah juga. Dan semua orang terima hoax," keluhnya.
Di Makassar, kata Syahrul juga luar biasa. Apalagi, sedikit saja jika hal-hal kritis penyikapannya langsung terbuka. Karena itu, kalau BPK punya kekuatan penuh untuk memeriksa, juga seharusnya bisa melindungi.
"Menjalankan pemerintahan tidak mudah, kami mulai subuh sudah dirongrong dengan pekerjaan, dan baru selesai dini hari. Itupun masih kaget-kaget. Kami harus ngatur policy nya. Gubernur tidak boleh tidur. Itulah yang kami hadapi di daerah," ungkapnya.
Menanggapi keluhan tersebut, Ketua BPK RI Harry Azhar Azis, menyampaikan, sudah ada Instruksi Presiden (Inpres) bahwa tidak boleh ada pemeriksaan, penyidikan, terhadap rekomendasi BPK yang dilindungi Undang-undang, selama 60 hari. Di tingkat nasional dan provinsi cara pandangnya relatif sama, tetapi di kabupaten kota masih beraneka ragam.
"Memang keluhan ini, saya keliling daerah disampaikan Bupati, Walikota dan Gubernur. Apa yang disampaikan Pak Syahrul juga dirasakan Gubernur dan Walikota lain," ujarnya.
Ia menegaskan, BPK tidak bisa mencegah atau bahkan mengintervensi aparat penegak hukum. Tetapi, seluruh rekomendasi BPK yang bisa ditindaklanjuti sebelum 60 hari, yang kemudian diperpanjang 150 hari, tidak boleh aparat penegak hukum masuk didalamnya. Namun, memang harus ada koordinasi dengan aparat penegak hukum.
"Saya ingin mengambil contoh kasus di Sumatera Utara. Saya tanya pada kepala perwakilan, ada Rp 300 miliar bansos yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kemudian muncul surat penyelidikan kejaksaan. Gubernur melawan dengan mem PTUN kan, dan semua SOP berjalan baik. Pengadilan memenangkan Gubernur Sumatera Utara. Tapi setelah itu, terjadi proses tangkap tangan. Itu memang bermula dari pemeriksaan BPK yang menyatakan ada Rp 300 miliar bansos. Kalau itu saja ditindaklanjuti, maka tidak ada masalah," bebernya.
Harry Azhar menegaskan, Mahkamah Agung (MA) sudah membuat surat edaran bahwa satu-satunya lembaga yang melakukan perhitungan kerugian negara adalah BPK atau lembaga lain yang mengatasnamakan atau mendapat rekomendasi BPK. Hal tersebut makin memperkuat, sehingga tidak ada lagi ketakutan bahwa ada lembaga lain yang bisa membuat perhitungan kerugian negara.
Terkait diskresi, Harry Azhar mengakui, sampai sekarang belum ada rujukan atau petunjuk mengenai ruang diskresi. Untuk mempertegas ruang diskresi tersebut, menjadi tugas DPR.
"Diskresi memang dilindungi. Tapi sejauh mana, memang menimbulkan perdebatan panjang," ujarnya.
Turut hadir dalam ramah tamah tersebut, Pelaksana Tugas Gubernur Gorontalo, Gubernur Maluku, Gubernur Sulawesi Tengah, Gubernur Kalimantan Utara, dan Anggota DPR RI Amir Uskara.
Minggu, 8 Januari 2017 (Dw/Er)