Mempersiapkan mental sebelum dan sesudah terjun ke dunia politik adalah modal utama bagi para pemimpin dan calon legislatif. Menanamkan dalam jiwa bahwa seorang patriot sejati harus siap kalah siap menang dan itu tidak mudah. Mengapa, karena disamping berbiaya besar ternyata orang yang diharapkan memberikan suaranya ternyata tidak memilih kita. Jika mental tidak dipersiapkan sedemikian rupa maka gila adalah efek buruk sebuah pertarungan. Belum lagi daftar calon tidak sebanding dengan jumlah kursi yang tersedia hanya 575 kursi. Dari 7.968 caleg, yang tidak lolos mencapai 7.393. Belum lagi jumlah caleg DPR Provinsi, Kabupaten/Kota yang tidak masuk mencapai 224.578. Artinya harus siaga penuh melawan ancaman sakit hati dan depresi.
Sebagai petarung mempersiapkan mental setelah terpental harus benar-benar dimatangkan. Inilah ujian terberat itu. Seperti kata Agung WD, jangan mengaku kuat kalau belum pernah berkompetisi sebagai caleg. Kalah tidak apa-apa tidak harus kehilangan kewarasan. Tertempanya mental menjadi lebih kuat adalah hikmah terbaik sebuah kompetisi.
Modal berkompetisi dalam perhelatan akbar tidak dapat dipungkiri membutuhkan dana besar. Khusus untuk pilpres 2014 yang lalu saja sebesar 4 triliun. Sangat mahal. Kalau dikalkulasikan biaya perhari 2,2 M. Per- jam 91 juta atau 1,5 juta/menit. Demikian pula bagi para calon yang ikut berkompetisi untuk menduduki kursi di DPR/MPR. Untuk mendapatkan uang tak jarang harus menjual rumah, mobil, bahkan meminjam di bank. Benar ungkapan Tina Toon, munafik kalau ada caleg tidak keluar uang. Harus cerdas dalam mengelola pikiran dan pilihan berpolitik di negeri ini. Tentu hal ini dimaksudkan agar reaksi kekecewaan atau kesedihan gagal dalam pengumpulan suara masih menyisakan akal sehat. Bukan kehilangan ingatan.
Di negara lain yang menggelar pesta demokrasi lebih maju daripada di Indonesia, pihak yang kalah niscaya mengucapkan selamat pada pihak yang menang. Dan yang menang mengucapkn salut pada pihak yang kalah. Tidak ada yang menang jika tidak ada yang kalah.
Fakta dan kondisi pilpres 2019 telah mempertontonkan sebuah reaksi mudah terprovokasi bagi para pendukung dan calonnya yang belum siap menerima kekalahan apalagi mengakui kemenangan lawan. Dengan mudah orang mencaci, mencerca.
Mengutip ungkapan Khrisna Pabicara, seniman asal Jeneponto, memantik sifat latah ikut-ikutan mengejek dan memupuk rimbunnya gairah petantang petenteng supaya dianggap sebagai orang yang paling mendukung. Sekaligus sebagai ungkapan rasa dipecundangi, dengan lantang menjadi penghujat ujaran kebencian dan kedengkian.
Segala sesuatu yang terjadi di atas dunia ini adalah hak prerogatif Allah. Segala sesatu tidak akan terjadi jika Allah tidak berkehendak. Tidak perlu terlalu panik atas apa-apa yang terjadi di dunia ini. Semua. Telah dijelasterangkan baik dalam Al-Quran dan Hadits Nabi.
Seakan angin lalu dan tidak peduli, sebagian dari umat kesetanan memperjuangkan politik untuk memenangkan Prabowo-Sandi agar terpilih. Allah maunya Jokowi yang jadi, mau apa? Tidak harus membahas apakah itu dengan cara curang atau pelanggaran atau apapun. Allah mengabulkan semua doa dan usaha umat-Nya baik secara halal maupun haram pada waktu yang dikehendaki. Allah itu adil, siapa yang meminta pada-Nya akan dikabulkan. Yang miskin dan kaya. Pada yang jahat dan tidak. Semuanya diberi. Sesederhana itu kadang malah dianggap sulit. Protes kesana kemari, disana-sini menghujat. Mudah berkata-kata yang tidak menunjukkan nilai adab. Pada pemilu serentak 2019, Allah telah mengatur kemenangan Jokowi-Makruf. Apa yang dimasalahkan? Manusia harus tunduk dengan skenario Allah.
Mungkin sebagian diantara kita lupa pada takdir. Ada memang orang ditakdirkan terlahir sebagai pemimpin. Sekuat apapun upaya kita menduduki kursi kekuasaan jika tidak dikehendaki tidak akan terjadi.
Marilah kita sadari mengingat pemilu di negeri ini berbiaya sangat mahal, janganlah ongkos finansial rakyat itu dipertekor lagi dengan hilangnya kerekatan sosial. Jadilah tetap rakyat yang saling menyayangi sesama, saling menguatkan, saling menghormati. Tidak kehilangan akal sehat, tetap cerdas, kritis dan tidak gampang terhanyut.
Di dunia ini memang akan selalu demikian adanya untuk mencapai keseimbangan. Ada hitam-putih, susah-senang, siang-malam, ada surga ada neraka. Seandainya hanya ada satu sisi mungkin istilah dunia akan berubah menjadi surga/Jannah. Yang hanya ada kebaikan, kebahagiaan, kecukupan, kesejukan, dsb.
Sebagai warga negara yang menjadikan semangat NKRI adalah tujuan bersama marilah mengimani kata bijak dari Sayyidina Ali, kekayaan yang termahal adalah kecerdasan. Kehancuran terbesar adalah ketololan. Keliaran terburuk adalah kesombongan dan prestasi terbaik adalah kebaikan ahlak. Mari merawat kesehatan batin menjadi lebih baik. Sudahi cacimaki sia-sia. (Mks-IGA.K).