Oleh : Gunt Sumedi

Jika tak ada aral melintang, tahun 2018 mendatang segenap masyarakat Sulawesi Selatan akan kembali menggelar perhelatan akbar dengan agenda utama memilih Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2018-2023.

Boleh jadi pemilihan gubernur (pilgub) kali ini akan sedikit lebih seru dibanding sebelumnya, karena bakal diramaikan dengan munculnya kandidat calon dari kalangan tokoh senior yang kapabel dan kompeten. Ini wajar dan biasa terjadi pada pemilihan manapun di dunia. Bukan cuma itu, sebagaimana yamg dilakukam daerah lain di Indonesia yang telah melakukan pemilihan, yaitu para kandidat yang akan bertarung memperebutkan posisi gubernur dan wakil gubernur nanti, terlebih dulu melakukan debat serta memaparkan visi dan misinya nampaknya akan semakin menghangatkan suasana. Dan ini harus diapresiasi dan direspon positif, karena gubernur dan wakil gubernur ke depan, khususnya di Sulsel tantangannya akan semakin berat. Sehingga lewat paparan visi dan misi yang dikemukakan para kandidat tersebut, masyarakat dapat mengetahui akan dibawa kemana Sulsel ini nantinya. 

Bahwa memang, untuk menjadi seorang pemimpin itu, bukanlah hal yang gampang.  Paling tidak, kriterianya bukan cuma sebatas bobot kemampuan memimpin atau keahlian di dalam menggalang massa pendukung, tetapi syarat pendukung yang tidak kalah pentingnya untuk dimiliki adalah kepribadian yang matang, cerdas serta pengendalian diri yang oke. Kemudian didalam sebuah organisasi itu, tak terkecuali pada organisasi pemerintahan, suatu keharusan ada yang namanya pemimpin dan yang dipimpin. Baik yang memimpin itu ditunjuk atau dipilih secara aklamasi melalui forum pemilihan resmi, atau karena sang pemimpin bersangkutan berhasil membentuk serta mempola suatu kondisi dan situasi yang sedemikian rupa, sehingga pilihan jatuh kepadanya untuk memimpin. Jika seorang pemimpin memang dipilih atau ditunjuk karena kemampuannya dalam memimpin, tentu hal itu wajar dan sepantasnya, karena yang diharapkan dari figur semacam ini adalah keberhasilannya dalam memajukan daerah yang ia pimpin dan melahirkan kader-kader cakap yang dipersiapkan sebagai calon pemimpin berikutnya. Cuma celakanya, jika figur yang tampil itu adalah sosok yang memaksakan diri untuk menjadi pemimpin akibat faktor ambisi atau karena latar belakang kepentingan dan atau karena tujuan-tujuan lain yang bersifat subyektif serta mengandung faktor “x” yang vestedinterest. Dari tipe pemimpin yang demikian, tentu tak banyak yang bisa diharapkan untuk memajukan daerah, selain hanya menunggu kapan hancurnya organisasi di pemerintahan yang ia pimpin tersebut.

Tolak ukur keberhasilan seorang pemimpin sesungguhnya dapat dilihat dari kemampuannya mengemban misi yang mengandung unsur kebersamaan.  Kebersamaan dalam kehendak dan kebersamaan dalam tujuan, yang menuntutnya pula kebersamaan dalam dedikasi dan kreativitas. Didalam pelaksanaan hal tersebut, tentunya diperlukan adanya situasi yang stabil dan penuh keberhasilan serta kemesraan, sehingga dapat membentuk kerjasama yang dominan dan stabil pula, yang seterusnya akan tercipta situasi dan kondisi dimana kreativitasnya dapat berkembang secara optimal. Namun memang tidak mudah menciptakan situasi dan kondisi seperti itu, karena terlebih dahulu diperlukan adanya saling pengertian dan harga menghargai antara pemimpin dan yang dipimpin. Yang selalu menjadi kendala dan permasalahan yang besar, adalah bagaimana memfokuskan ke satu arah dan tujuan dari berbagai ragam pendirian dan beraneka macam pandangan serta pendapat yang saling berbeda dan kontradikitf, sehingga tidak terjadi gesekan yang bisa mengancam keutuhan kinerja.  Dalam hal seperti inilah brain-trust, skill dan idealisme serta kreativitas, juga dedikasi seorang pemimpin diuji dan dicoba, sampai berapa besar kadar dan bobotnya didalam mengendalikan kemudi organisasi (pemerintahan, pen). Kewibawaan leadershipnya dipertaruhkan.  Semuanya tergantung dari hasil akhir inilah akan terlihat karakter dan sifat seorang pemimpin tersebut.  Juga akan terlihat apakah ambisinya adalah ambisi murni seorang leadership yang berjiwa enterpreuneur, ataukah ambisinya adalah ambisi yang kontemporer yang dilandasi oleh kepentingan tertentu karena faktor ‘x’ tadi.

Seorang pemimpin harus pula menjadi pengamat yang baik dan dengan kecermatan yang tinggi.  Dapat mengatasi setiap masalah yang mungkin timbul di lingkup kerjanya. Dia juga harus senantiasa berpendirian teguh, tidak berubah-ubah.  Obyektivitas dalam setiap melihat persoalan sebelum diputuskan, wajib untuk terus dipelihara dengan sejauh mungkin menghindari gaya kepemimpinan yang otoriter.

Seorang pemimpin juga harus sanggup menjadi ibarat danau yang akan menampung setiap masalah yang datang. Dimana setiap masalah tersebut  difilter atau disaring untuk dibersihkan, yang kemudian setelah dianggap tuntas, dikembalikan dan disalurkan ke muara-muara asalnya.  Tetapi menurut pengamatan penulis, sekarang sudah sangat jarang menemukan type pemimpin yang begini. Untuk sanggup menjadi pemimpin yang demikian bukanlah hanya kearifan yang dibutuhkan, tapi juga keahlian tersendiri didalam memfilter setiap masalah yang datang.  Agar bisa membedakan yang putih dan hitam, atau yang bersih dan kotor, diperlukan pengamatan yang seksama, karena sudah pasti dibalik masalah yang timbul itu ada kepentingan yang menjadi pemicunya.  Sebab itu, penanganannya harus ditempatkan pada proporsinya, tidak dengan emosi, apalagi dengan melapiaskan di depan umum secara terbuka yang justru bisa meruntuhkan kewibawaan sang pemimpin itu  sendiri.                                                    

Dari beberapa bincang-bincang yang mengemuka menyangkut calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel yang dianggap pantas, diantaranya harus memiliki kualitas moral yang tidak diragukan,  baik dilihat dari sudut pandang agama maupun dari sisi sosial budaya. Disamping itu, tingkat pengalamannya memimpin pemerintahan juga wajib dimiliki. 

Kriteria lain yang tak kalah pentingnya untuk dimiliki setiap kandidat calon, adalah figur yang memiliki dedikasi tinggi dan mau berkorban untuk terus membangun daerah.  Bukan orang ambisius yang hanya berfikir tentang bagaimana mendapatkan keuntungan pribadi. Oleh karena itu, memilih calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel nanti perlu dilakukan secara selektif dan hati-hati. Jangan sampai masyarakat terpedaya oleh janji muluk seorang calon yang sesungguhnya hanya piawai mengumbar janji. Karena tipe calon yang demikian, biasanya cuma mengandalkan kemampuan ‘bersilat lidah’.

Dari beberapa pengalaman hasil pilkada/pilgub, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemenangan para kandidat yang berhasil terpilih itu, nampaknya lebih dominan karena ditunjang oleh kepribadian sosok calon bersangkutan.  Masyarakat pemilih kini sudah sangat cerdas dalam menilai calon pemimpin yang diinginkannya, yaitu lebih tertarik kepada individu si calon yang sudah dikenalnya, baik dalam penilaian latar belakang pribadi, maupun  kemampuan yang ditunjang oleh berbagai pengalamannya sebagai pemimpin, yakni seorang  pemimpin yang mempunyai konsep kebijaksanaan yang jelas dalam pengembangan, pemanfaatan dan pemberdayaan potensi sumber daya yang dimiliki daerah  bersangkutan. 

Kesimpulannya, untuk mewujudkan Sulsel menjadi provinsi lebih maju, berkembang, tentunya dibutuhkan  figur seorang gubernur yang kompeten, kridibel serta yang memiliki wawasan luas,  berpikir inovatif, imajinatif dan kreatif serta tegas dalam setiap mengambil keputusan. Sehingga bagi setiap bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang akan ikut menyemarakkan pilgub Sulsel 2018 mendatang, diharapkan yang mempunyai komitmen moral, memiliki konsep yang jelas untuk melanjutkan apa yang telah dicapai sekarang ***