Tiga tahun pemerintahan Jokowi-Kalla lumayan memberikan tingkat kepuasan bagi sebagian masyarakat. Namun kepuasan tersebut bukan sertamerta sudah menjawab persoalan kebangsaan secara menyeluruh. Ada satu hal membutuhkan penanganan melekat dan sangat menggelisahkan. Peluang -peluang demokrasi disalahgunakan secara tidak bertanggung jawab oleh beberapa kalangan. Demi alasan kebebasan, rakyat terus diprovokasi, dengan melebih-lebihkan seakan rakyat berhak atas semuanya. Wacana kebebasan dipersempit menjadi “mana hakku” dan “bagaimana aku memperoleh hakku”.
Itulah kenapa oleh seorang filsuf Axel Honneth disebut “patologi kebebasan”. Kebebasan demikian adalah patologis karena berakibat menyempitkan manusia hanya sebagai “orang yang berhak” dan melupakan sebagai “ manusia yang berkewajiban”, (Kompas/6-11).
Sebuah keadaan jika terus menerus diperdengarkan seakan mengumbar demi haknya , dipastikan akan menularkan pemahaman keliru dilingkungan secara psykologi-sosial . Muncul fanatisme, menghalalkan cara, ketidakpedulian, keterikatan dan identitas sosial. Apalagi jika disertai bumbu-bumbu sentimen bernada pengecualian. Contoh terkini dari pernyataan politisi, “mana hakku sebagai pribumi” dan “bagaimana aku harus meraih hakku sebagai pribumi”.
Politikus-politikus melakukan propaganda demi dan atas dasar kebebasan, dibalut demokrasi. Dan mereka berkeliaran dalam jagad demokrasi. Dengan kemampuan berorasi dan pesona memikat mereka pandai menggunakkan bahasa yang akrab di telinga rakyat. Membuat kesan seakan bijak dan menyejukkan serta memberi harapan baru. Pandai menyembunyikan tindakan menyulut permusuhan. Arif dalam berkhotbah tentang kesederhanaan namun pada kenyataannya korup, rakus dan siap memangsa lawan.
Sementara rakyat sendiri belum matang dalam mengolah dan menyadari bagaimana gambaran tentang demokrasi sesungguhnya. Dengan mudah tersulut dan anarkis oleh provokasi politik yang membakar emosi. Apalagi jika membahas persoalan agresi agama dan politik, ibarat menembakkan senjata api ditengah keramaian. Bisa dibayangkan keributan dan reaksi keras mengatasnamakan rakyat akan tersulut. Kemanusiaan, nurani rakyat sungguh dimiskinkan oleh kepentingan kekuasaan.
Tidak dapat diklasifikasikan para aktor politik mana yang dominan dalam keberpihakan pada rakyat, semua merasa menegakkan demokrasi, tetapi sesungguhnya mereka ancaman dan bisa meruntuhkan demokrasi yang baru kita bangun dengan susah payah.
Pemandangan ini sangat mudah dijumpai dan bukan sesuatu yang tabu dibicarakan. Hal ini terbaca dalam laju arus lalu lintas pemberitaan di media sosial yang begitu kritis, sinis cenderung kasar tanpa rambu menghujat terhadap kebijakan, langkah, kata-kata pejabat atau wakil rakyat. Keadaan ini sangat bahaya bagi demokrasi representatif yang kita miliki. Globalisasi telah menelan bulat-bulat hidup kita. Akal sehat, rasa kebersamaan dan naluri toleransi dikesampingkan. Presiden Jokowi mengatakan demokrasi kita sudah kebablasan. Penegakan hukum jadi kartu truf agar demokrasi memiliki koridor.
Kondisi perpolitikan, sosial dan hukum di Indonesia yang terjadi seakan berebut panggung melawan satu sama lain mengatasnamakan kebebasan. Definisi kebebasan jadi bias. Tergantung pada orang yang mengatakannya. Jika klaim kebebasan berbenturan di ruang sosial yang terjadi adalah kekacauan. Bikin orang jadi bimbang bahkan salah memaknai. Ironis muncul sebagai tokoh tanpa dosa dan merasa terzolimi.
Kebebasan secara umum dapat dimaknai sebagai kemerdekaan atau lepas dari belenggu kebendaan/ kerohanian. Tidak melanggar hukum dan undang -undang. Dari beberapa pandangan menyebutkan kebebasan mencakup, bebas mengeluarkan pendapat, bebas beribadah, bebas dari kekurangan dan kemiskinan, serta bebas dari ketakutan.
Pemahaman keliru dan perlawanan terhadap hal tidak kelihatan namun bisa dirasakan ini adalah perjuangan tidak mudah, terjal penuh onak duri. Kebebasan berekspresi tidak sama dengan semaunya mengeluarkan pendapat tanpa solusi untuk kebaikan penguasa. Pernyataan atau definisi kebebasan harus dilekatkan dengan pemaknaan yang benar dan tidak kebablasan. Jangan dikonotasikan seperti cel kangker ganas, cepat atau lambat akan merusak seluruh jaringan dalam tubuh sebagai penyebab kematian.
Koridor ataupun batasan adalah demi kepentingan “rakyat” bukan rakyat dengan segala keluhan menuntut hak semata dan melupakan kewajiban sebagai warga negara yang santun. Selaras dengan sila ke dua dalam pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab. Bebas bersyarat dengan balutan rasa cinta kedamaian, beretika, manusiawi dalam kebersamaan saling tolong dan semangat bekerjasama untuk kebaikan bangsa.
Adab dalam menyampaikan aspirasi tetap menjadi syarat utama, kritis dan memberi sebuah jalan keluar yang sesuai dengan kondisi bangsa. Jangan sampai dalil kebebasan berdemokrasi jadi virus yang membunuh demokrasi dari dalam. Bukan tanpa sebab kebebasan yang ditunggangi kepentingan ditertibkan, semata untuk meredam tindak pidana di jagad maya. Ini dibutuhkan karena beberapa pihak telah memanfaatkan media daring untuk menggiring opini tertentu. Sangat berpotensi menjadi ancaman kehidupan berdemokrasi (Rudiantoro).
Ketika rantai kebohongan membelit masyarakat dalam lingkaran setan, apa yang bisa dilakukan. Perang melawan kebohongan pada level akar rumput butuh keberpihakkan. Berfikir dan peduli pada kepentingan orang lain dalam kebersamaan. Hanya kepedulian yang bisa menyelamatkan. Pada level elite sebaiknya bisa memproduksi kebenaran faktual, mencari cara kontekstual untuk mempromosi kebenaran ditengah kepalsuan dan memperkuat moral. Agar pesona muncul sebagai tokoh idola penjaga kebenaran. Publik perlu bukti, institusi politik memang dibentuk untuk kemaslahatan umum yang bisa diandalkan. Rakyat butuh teladan. (Divia/mks).