Paket kebijakan dalam suatu perekonomian Islami haruslah mencakup kebijakan-kebijakan yang lebih manusiawi untuk menghasilkan keadilan sosial, baik secara statis maupun dinamis. Sementara perananan inisiatif perorangan haruslah diberi pertimbangan yang cukup. Suatu perekonomian Islami pada umumnya akan dikuasai oleh pengarahan serta pengendalian pemerintah atau kegiatan ekonomi yang berazaskan Islam.
Pendekatan Islami secara umum adalah kandungan eksploitatif dari pranata-pranata yang ada serta mengubahnya menjadi unsur-unsur aktif dalam proses perubahan. Sementara kekayaan pribadi akan dipertahankan secara formal, meskipun dalam skala yang sangat jauh dikurangi untuk memuaskan kebutuhan batin manusia akan adanya jaminan keamanan. Pranata ini tidak akan dibiarkan tumbuh menjadi inkubus dan merusak proses perubahan sosial ke arah masyarakat yang lebih egalitarian. (Syed Nawab Haider Naqvi, Etika dan Imu Ekonomi, cet 1, Bandung; Mizan, 1995, h.154)
Pendekatan tersebut bertujuan untuk membebaskan manusia dari kemerosotan sosial yang selalu bergandengan dengan kemiskinan, sementara merangsangnya untuk tidak melupakan pertanggungjawabannya terhadap masyarakat. Dalam suatu masyarakat Islami, proses ekonomi yang tidak sepenuhnya materialistik ini harus bersifat secara esensial non eksplotatif, yang sama sekali tidak membuka ruang gerak bagi para reaksioner yang menjegal semua reformasi sosial, karena khawatir reformasi sosial akan dibidikkan ke arah mereka.
1. Kebijakan Ekonomi Dalam Islam
Kebijakan ekonomi (Economics policy) mengandung arti penggunaan alat-alat (Variabel instrmental) untuk mempengaruhi atau untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Misalkan dalam suatu perusahaan dagang, dapat menggunakan variabel instrumental, seperti iklan untuk memperbesar volume penjualannya supaya pada akhirnya mencapai laba maksimal.
Kebijakan ekonomi jauh sebelumnya sudah pernah dipraktekkan pada masa Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wasallam dan sahabat-sahabatnya. Hal tersebut terjadi pada waktu Rasulullah diangkat sebagai kepala negara di Madinah, beliau melakukan perubahan drastis dalam menata kehidupan masyarakat di Madinah. Hal pertama yang beliau lakukan adalah membangun sebuah kehidupan sosial, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, institusi maupun pemerintahan yang bersih dari berbagai tradisi dan prinsip-prinsip Islam. Seluruh kehidupan masyarakat disusun berdasarkan nilai-nilai Qurani, termasuk dalam hal ini sistem ekonominya yang berdasarkan pada prinsip persamaan, kebebasan, keadilan, dan kebajikan.
Pada tahun-tahun awal sejak dideklarasikannya sebagai sebuah negara, Madinah hampir tidak memiliki sumber pemasukan atau pengeluaran negara. Seluruh tugas negara dilaksanakan kaum muslimin secara gotong royong dan sukarela (Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta :PT, Raja grafindo persada, 1994, cet-2, h. 36)
Situasi tersebut berubah setelah turunnya Surah Al-Anfal pada tahun ke-2 H. Dalam ayat tersebut dijelaskan tentang cara pembagian ghanimah, di mana 1/5 untuk bagian Allah dan Rasul-Nya dan 4/5 dibagikan kepada anggota pasukan yang terlibat peperangan. Selain itu turun juga ayat mengenai zakat dan pengalokasiannya. Berdasarkan ayat tersebut, maka Rasulullah mengambil suatu kebijakan, bahwasanya sumber pendapatan negara waktu itu bersumber dari ghanimah, zakat. Selain itu ada juga yang bersumber dari jizyah, kharaj, dan ushr.
Standar hidup kaum muslimin pada waktu itu mengalami kenaikan di tingkat pendapatan, hal tersebut terjadi berkat kebijakan yang dilakukan Rasulullah ketika pertama kali tiba di Madinah. Beliau membuat suatu perjanjian persaudaraan untuk saling membantu antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Hal tersebut dapat kita lihat, ketika Rasulullah mendorong kaum Anshar dan Muhajirin untuk melaksanakan Muzara’ah (pembagian hasil panen), di mana kaum Muhajirin mengelola lahan kaum Anshar. (Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta; PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, jlid 2, h. 322)
Langkah yang diambil oleh Rasulullah di atas merupakan suatu kebijakan, dimana dalam hal ini beliau memberi pekerjaan kepada kaum Muhajirin dan di sisi lain mendorong peningkatan aktifitas produksi, sehingga hasil produksi lahan dari kaum Anshar pun meningkat.
2. Tujuan dan Sasaran Kebijakan Ekonomi Dalam Islam
Tujuan kebijakan dalam suatu negara Islam harus sepenuhnya sesuai dengan prinsip hukum dan nilai-nilai Islam. Tujuan pokok hukum agama Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan ummat manusia, dan kemaslahatan tersebut hanya akan dapat dicapai apabila seluruh sistem hukum dalam ekonomi Islam berjalan sesuai dengan idiologi Islam. berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wasallam.
Adapun tujuan kebijakan ekonomi menurut Monzer Khaf, ada tiga yang utama, yaitu : (Monzer Kahf, Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), Cet 1, Yogyakarta : Adityamedia,2000, h.171
- Maksimisasi tingkat pemanfatan sumber daya alam. Dalam hal ini seorang muslim dapat memperoleh hak milik atas sumber–sumber daya alam setelah memenuhi kewajibannya terhadap masyarakat. Penggunaan dan pemeliharaan sumber-sumber daya alam itu dapat menimbulkan 2 komponen penghasilan, yaitu ; penghasilan dari sumber daya alam itu sendiri, yakni sewa ekonomis murni, dan penghasilan dari perbaikan dalam penggunaan sumber daya alam melalui kerja manusia dan juga modal.
- Minimisasi kesenjangan distributif
Meminisasi kesenjangan distributif dalam hal ini di atur dalam Al-Qur’an dan Sunnah, misalkan larangan untuk mengkonsumsi secara berlebihan, selain itu juga adanya prinsip kesamaan harga diri dan persaudaraan serta prinsip tidak dikehendakinya pemusatan harta dan penghasilan pada sejumlah kecil orang tertentu. Untuk mengantisipasi terjadinya hal tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan dengan 3 hal yaitu; Menjalankan sistem perpajakan progresif terhadap suatu pendapatan, dikenakannya pajak waris dan terhadap hak milik yang diwariskan dengan perbandingan progresif serta distribusi hasil pajak, terutama yang terkumpul dari golongan orang-orang kaya kepada masyarakat yang miskin melalui utusan dinas-dinas sosial. (Abdul Mannan, Op.Cit, h. 55). Ketiga hal tersebut dimaksudkan untuk pemerataan dan keadilan dalam memperoleh dan menikmati seluruh kekayaan alam, dan hal tersebut sesuai dengan tujuan ekonomi Islam.
Adapun sarana-sarana kebijakan ekonomi adalah alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan ekonomi. Sarana-sarana yang digunakan para pengelola ekonomi dalam perekonomian Islam sangat bervariasi, mulai dari dorongan moral dan diakhiri dengan pelaksanaan mekanisme ekonomi secara lansung. Menurut Monzer Khaf, alat-alat utama yang ada di tangan para pejabat ekonomi adalah; 1. Alat-alat moneter, dalam hal ini mencakup pengelolaan nilai tukar dan pengelolaan kredit tanpa bunga, serta prosentase monoterisasi zakat, baik untuk kepentingan pengumpulan maupun pendistribusiannya. 2. Alat-alat fisikal, mencakup di dalamnya kebijakan perpajakan dan belanja negara serta masalah surplus dan defisit anggaran. Prinsip Islam tentang alat-alat fisikal dan anggran belanja ini bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan. 3. Alat-alat produksi, prinsip fundamental yang harus selalu diperhatikan dalam proses produksi adalah prinsip kesejahteraan ekonomi. Kesejahteraan ekonomi menurut konsep Islam adalah terletak pada kenyataan, bahwa hal ini tidak mengabaikan kesejahteraan umum. Dengan demikian alat-alat produksi dalam suatu perekonomian Islam harus dikendalikan dengan kriteria obyektif maupun subyektif. Kriteria obyektif diukur dengan kesejahteraan material, sedangkan kriteria subyektif harus tercermin dalam kesejahteraan yang dinilai dari segi etika ekononmi Islam. 4. Alat-alat Distribusi, hal ini berkaitan dengan pengalokasian harta dan penghasilan di antara individu-individu, dalam hal ini misalkan penerapan zakat bagi orang yang mampu untuk didistribusikan pada orang miskin. 5. Pelaksanaan dan penyesuaian hukum dengan standar moral, salah satu bagian integral dari kesatuan politik umat Islam adalah adanya lembaga Hisbah, dimana peranannya sebagaimana yang dirumuskan oleh ibnu Taimiyah adalah melaksanakan pengawasan terhadap prilaku sosial dan ekonomi, sehingga mereka melaksanakan yang benar dan meninggalkan yang salah. Hal ini terkait dengan pendidikan yang luas serta etika ekonomi yang perlu dijalankan oleh para pelaku ekonomi. (Rahmawati Muin)