Berbicara mengenai Kepemimpinan dan Pelayanan Publik tentulah tidak terlepas dari hasil kerja pemimpin dan seluruh stakeholder didalamnya. Pelayanan public (public service) yang memadai dan berkualitas kebanyakan hanya ditemukan di negara demokrasi dan negara maju.
Negara-negara yang mengatur sistem otoriter dan fasis, sekalipun maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, namun cenderung mempunyai sistem pelayanan publik yang buruk, karena warga hanya boleh menerima apa yang diberikan oleh negara tanpa ikut andil secara langsung.
Di negara kita Indonesia, sejak tahun 1998 masyarakat mulai dilibatkan dalam kebijakan publik. Setelah desentralisasi (otonomi daerah), pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) berlomba-lomba memperbaiki pelayanan publik. Sayangnya, pelayanan publik yang merupakan hak-hak dasar warga negara yang seharusnya dipenuhi oleh negara, terutama mereka yang tidak mampu memenuhinya seperti warga miskin, disabilitas (penyandang cacat), dan anak-anak justru menjadi komoditas politik.
Pelayanan-pelayanan publik dalam pendidikan, kesehatan dan administrasi kependudukan menjadi komoditas politik para politisi untuk menarik pemilih. Padahal hak-hak dasar warga negara tersebut haruslah disediakan pemerintah, sebagaimana diatur hukum internasional maupun kesepakatan global untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara.
Sebagai komuditas politik, bidang-bidang tersebut seakan merupakan "kemurahan hati" penguasa kepada rakyat yang masih sebatas kebijakan diatas kertas yang tidak selalu bagus dalam implementasi. Penerima pelayan publik tidak hanya menunggu dan menggerutu dengan pelayanan publik yang buruk, karena hal tersebut tidak serta merta menyelesaikan masalah.
Publik harus terlibat untuk mengoreksi setiap kebijakan pelayanan publik, termasuk implementasinya. Untuk terlibat, publik harus mempunyai pengetahuan dan keterampilan mengenai instrumen dan kebijakan-kebijakan teknisnya.
Negara tidak sekedar menyediakan pelayanan publik yang merupakan kewjibannya, tetapi pelayanan tersebut harus memenuhi standar-standar kemanusiaan. Saat ini di Indonesia dikembangkan standar pelayanan minimal (SPM) untuk institusi pelayanan seperti Pendidikan, kesehatan, perijinan, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dan sebagainya. Namun, SPM juga ironi karena standar yang dikembangkan adalah standar minimal, bukan standar yang layak dan merupakan ukuran yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki negara, baik SDM maupun sumber anggaran yang terbatas.
Kondisi SDM dilembaga layanan tidak hanya terbatas dalam hal jumlah, tetapi juga kualitas yang berada dibawah rata-rata.standar yang rendah ditambah dengan model penerimaa tenaga di lembaga layanan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah profesionalisme menghasilkan tenaga-tenaga layanan yang tidak profesional. Layanan tidak lebih dari pencari kerja yang mengisi lembaga layanan tersebut. Jadi, bukanlah hal yang aneh jika ada banyak persoalan pelayanan yang terjadi, semisal di Rumah Sakit yang terkadang ada pasien yang tidak mampu membayar biaya persalinan, atau ada pasien yang ditolak oleh pihak RS. Jika mereka adalah tenaga profesional maka mereka mampu menempuh cara yang lebih manusiawi dan standar untuk menanganinya. Begitupun di beberapa lembaga pendidikan yang masih terjadi kekerasan oleh tenaga pendidik yang mempunyai pengetahuan rendah, keterampilan rendah dan tidak mempunyai kemampuan mengolah emosi.
Selain harus memenuhi standar yang layak, pelayanan publik juga harus memihak pada pro gender. Pelayannya harus mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan baik laki-laki, perempuan, disabilitas, ibu hamil, ibu menyusui, Lansia, warga miskin dan anak-anak.
Syarifuddin