Oleh : Muh Razak Kasim

Mengubah sesuatu pasti ada untung dan ruginya seperti  mengubah struktur organisasi --- perangkat daerah sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang  maupun  peraturan pemerintah.

Pemerintah telah mengeluarkan peraturan baru menyangkut perangkat daerah baik perangkat daerah provinsi maupun perangkat daerah kabupaten/kota. Dengan terbentuknya perangkat daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2016, maka sejumlah  pejabat eselon  kehilangan jabatan. Kehilangan jabatan, otomatis kehilangan tunjangan.

 Merunut  Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah perubahan dari UU Nomor 22 Tahun 1999 yang merupakan cikal bakal era Desentralisasi atau Otonomi Daerah pasca tumbangnya Orde Baru melalui rangkaian sejarah reformasi pada tahun 1998.  Pasal 120 Ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwasanya perangkat daerah Kabupaten/Kota terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan dan Kelurahan. Pada perangkat hukum turunan UU 32 Tahun 2004 yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Pemerintahan Daerah (OPD) pada Pasal 8 dan Pasal 15 sangat jelas disebutkan bahwa Lembaga Teknis Daerah bisa berbentuk Badan, Kantor dan Rumah Sakit  sehingga dapat disimpulkan kedudukan Rumah Sakit Daerah (RSD) adalah sebagai Lembaga Teknis Daerah yang dipimpin oleh seorang direktur dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala daerah melalui Sekretaris Daerah. Status badan hukum dan kelembagaan inilah yang dianut oleh rumah sakit daerah sampai dengan saat ini.

Atas  dasar  tersebut, perangkat daerah telah terbentuk hingga saat ini, yang disesuaikan kebutuhan daerah masing masing.Namun, apa yang hendak dikata dan diperdebatkan. Pemerintahan Joko\Widodo - Jusuf Kalla telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang perangkat daerah.

Dengan pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 232 ayat (1) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Presiden Joko Widodo pada tanggal 15 Juni 2016 telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor (PP) 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.

Dalam PP itu dijelaskan, bahwa Perangkat Daerah adalah unsur pembantu kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

Pembentukan Perangkat Daerah, menurut PP tersebut,  dilakukan berdasarkan asas: a. Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah; b. intensitas Urusan Pemerintahan dan potensi Daerah; c. efisiensi; d. efektivitas; e. pembagian habis tugas; f. rentang kendali; g. tata kerja yang jelas; dan h. Fleksibilitas.

Pembentukan dan susunan Perangkat Daerah ditetapkan dengan Perda, yang berlaku setelah mendapat persetujuan dari Menteri (Mendagri, penulis) bagi Perangkat Daerah provinsi dan dari gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat bagi Perangkat Daerah kabupaten/kota,” bunyi Pasal 3 ayat (1,2) PP tersebut.

Mengutip PP No.18 Tahun 2016 dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 5, Pemerintahan  Daerah adalah penyelenggaraan Urusan  Pemerintahan oleh Pemerintah  Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan Tugas Pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik  Indonesia Tahun 1945.

Bila merujuk ketentuan PP tersebut, maka  ada unit kerja perangkat daerah  yang dilebur sehingga  ada unit kerja itu dalam lingkup pemerintahan daerah ditiadakan seperti  SKPD lingkup Pemprov Sulsel akan diberlakukan. Tentu saja, ada yang terabaikan dari ketentuan tersebut. Misalnya, Biro Bina Napzah dan HIV/Aids Setda Prov Sulsel akan dilebur. Padahal, kondisi  terkini, Biro ini hanya Pemprov Sulsel membentuk Biro Napzah dan HIV/Aids dan telah menghasilkan sejumlah program kerja yang bersentuhan dengan masyarakat.Sebutlah itu, Gerakan 1000 Penyuluh dengan melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, dosen, guru serta insan pers, sejak 2008 lalu.Bila biro ini dilebur, tentu ada yang pejabat eselon III dan IV kehilangan jabatan  atau amanah.

Selain Biro Napzah dan HIV/Aids Sekdaprov Sulsel, juga akan dialami oleh pejabat eselon III dan IV di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemprov Sulsel. SKPD ini, diperkirakan akan melebur UPTD Balai Kompetensi Tenaga Kerja. Lagi, unit kerja ini telah menelorkan sejumlah program kerja yang bersentuhan dengan tenaga kerja dalam menghadapi era kompetensi agar tidak tergilas oleh tenaga kerja asing.Seharusnya, UPTD ini tidak dilebur karena unit kerja inilah yang seharus mempersiapkan tenaga kompeten.  Disayangkan kalau dua unit kerja itu dilebur.

PP No,18 tahun 2016, segera diberlakukan dilingkup Pemprov Sulsel karena dengan terbentuknya perangkat daerah akan merujuk pula pada pembahasan anggaran pada tahun anggaran 2017.

Dengan merujuk  pada point  c. efisiensi dan d. efektifitas yang berkaitan anggaran, maka sekitar 125 jabatan eselon III hilang, kurang lebih 250 jabatan eselon IV hilang dan sekitar sepuluh (10) jabatan eselon II hilang.

Pertanyaannya adalah akan “diparkir” dimana pejabat eselon setelah terbentuk perangkat daerah sesuai PP yang baru itu?.

Disatu sisi, terjadi efisiensi anggaran dengan terbentuknya perangkat daerah. Namun, disisi lain berdampak pada pejabat eselon yang kehilangan jabatan. Dampak social akan muncul di lingkup kerjanya ataupun dilingkungan masyarakat itu sendiri.

Yang paling parah, adalah kehilangan tunjungan yang biasanya diperuntukkan untuk kesejahteraan rumah tangganya. Dampak lain yang bisa timbul adalah persaingan yang kurang sehat dilingkup kerjanya. Tentu saja, ada yang merasa memiliki kemampuan lebih dibanding rekannya yang menjadi pejabat. Bukan hanya itu, kecemburuan social pun akan muncul sehingga lingkungan kerjanya tidak kondusif yang berujung  produktifitas kerja menurun serta saling lempar tanggung jawab.

Memang terjadi persaingan diantara ASN, dan itu harus dilalui bila ingin menduduki jabatan dengan sejumlah persyaratan dan keunggulan serta kemampuan dalam jenjang kariernya. Itulah, sisi positifnya. Menduduki jabatan harus unggul.

Lantas, kalau itu terjadi, akankah penentu kebijakan prihatin ataukah ada solusi yang bisa dipertanggungjawabkan. Sesungguhnya, pemerintah harus memberi kesejahteraan, bukan hanya sekadar berhitung tentang efisiensi anggaran dan efektifitas. Wassalam.