Hasil seleksi Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) SMA/SMK tahun ajaran baru 2017/2018, telah diumumkan, Senin, 10 Juli 2017. Beragam protes dilayangkan berbagai daerah, karena merasa dirugikan oleh Petunjuk Teknis (Juknis) PPDB yang ditetapkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel, sehingga dinilai mengakibatkan banyaknya calon peserta didik tidak lulus seleksi.
Dari hasil seleksi secara online, masih tersisa 5.046 kuota. Sehingga, Dinas Pendidikan (Disdik) Sulsel membuka pendaftaran dan seleksi tahap kedua. Berdasarkan data yang dihimpun dari Disdik Sulsel, untuk calon siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) se Sulsel, sebanyak 24.693 yang telah mendaftar, dan hanya 23.008 calon siswa SMA yang diterima dan dinyatakan lulus seleksi online. Tersisa 1.670 kuota dari 43 sekolah SMA. Sementara untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), sebanyak 13.520 calon siswa yang sudah dinyatakan lulus seleksi online, dan menyisakan 3.376 kuota dari 34 SMK se-Sulsel.
Sisa kuota tersebut semua tersebar di 24 kabupaten/kota. Pendaftaran untuk tahap kedua yang tersisa kuotanya tersebut akan dibuka selama tiga hari. Jika dalam jangka waktu tiga hari sisa kuota tersebut belum terpenuhi, maka dipastikan tidak ada lagi penerimaan ulang. Kuota yang tidak terpenuhi itu akan dikosongkan saja.
Banyaknya calon peserta didik yang tidak lulus masuk ke sekolah favorit mereka, memunculkan protes dari seluruh kabupaten kota. Ada yang menganggap juknis tersebut membuat banyak anak terancam putus sekolah. Adapula yang akan menggugat Gubernur Sulsel karena juknis tersebut.
Melihat kembali seluruh juknis PPDB online yang ditetapkan Pemprov Sulsel dalam hal ini Dinas Pendidikan (Disdik), memang hampir tak ada lagi celah untuk melakukan kecurangan. Proses seleksi dilakukan secara fair, sehingga seluruh calon peserta didik bisa bersaing. Tentunya, hal ini juga akan mendorong para peserta didik untuk belajar lebih giat jika ingin melanjutkan pendidikan di sekolah favorit mereka.
Selain itu, tetap tersedia jalur-jalur kemitraan berupa rekomendasi. Itupun, tidak serta merta bisa digunakan karena persyaratannya sangat ketat. Poinnya pun sangat kecil. Adapula poin khusus bagi calon peserta didik yang berdomisili di sekitar sekolah tempat mereka mendaftar. Tentunya, hal ini akan menguntungkan peserta didik, karena akan menghemat biaya transportasi. Begitupun jatah untuk siswa kurang mampu atau miskin. Apalagi, bagi mereka yang berprestasi.
Juknis yang ditetapkan Disdik Sulsel, memang membuat banyak pihak gerah. Tak ada lagi celah bagi mereka yang selama ini kerap mengandalkan "surat sakti" untuk meluluskan calon peserta didik masuk ke sekolah favorit mereka. Tidak ada lagi "jendela" untuk mereka masuk jika tak lulus seleksi, hingga dalam satu kelas harus ada bangku atau kursi tambahan. Tidak ada lagi istilah pintu belakang dengan pembayaran jutaan, yang membuat peserta didik harus "bertumpuk" melebihi kapasitas ruang belajar seharusnya.
Para orangtua yang memiliki banyak uang, lalu bersedia "membayar" untuk memenuhi hasrat anak mereka masuk ke sekolah negeri impian mereka, dipastikan tidak mendapatkan kesempatan itu lagi. Sementara, calon peserta didik dengan nilai yang tinggi dan tidak memiliki banyak uang, tentunya tidak perlu kuatir atau was-was, akan tergeser oleh mereka yang nilainya rendah tapi memiliki uang banyak. Semuanya adil.
Pernah mendapatkan kesempatan berbincang dengan Kepala Disdik Sulsel, Irman Yasin Limpo. Baginya, juga tidak mudah menetapkan sebuah kebijakan untuk membuat sistem pendidikan di Sulsel lebih berkualitas dan memenuhi asas keadilan. Protes, bahkan ronrongan dari mereka yang selama ini mendapatkan keuntungan dari sistem penerimaan siswa baru harus ia terima. Tapi, untuk memperbaiki sistem pendidikan memang harus seperti itu. Tidak mudah, bukan berarti tidak bisa.
Penulis : Dewi Yuliani (JURNALIS HARIAN RAKYAT SULSEL)