Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo menerima rombongan CSO (Civil Society Organization) atau organisasi masyarakat sipil untuk Percepatan Perhutanan Sosial Sulsel di Ruang Kerja Gubernur Sulsel, Rabu (14/3/2018).
Mereka membahas terkait perhutanan sosial dan rencana pembentukan kelompok kerja (Pokja kehutanan) Provinsi Sulawesi Selatan.
"Saya merasa senang, sudah lama anda mau ketemu, saya juga mau, cuma lama tidak bisa nyambung waktunya. Di kepala saya, negeri ini terlalu bagus dan akan kecewa jika tidak sesuai harapan kita," kata Syahrul.
Komitmen pemerintah provinsi juga besar pada pelestarian lingkungan. Sejauh ini dibawah kepemimpinanya Dinas Kehutan Provinsi Sulsel sudah meraih 33 penghargaan bidang kehutanan.
"Di Sulsel kita cangangkan Go Green, program seperti ini diharapkan jadi rahmat bagi masyarakat," sebutnya.
Gubernur Sulsel terkait pembentukan Pokja dan program perhutanan sosial, menyambut baik rencana ini. Ia meminta dinas terkait untuk segera memfasilitasi pembentukan pokja yang dibutuhkan.
Sementara itu, Koordinator Koalisi CSO Sulsel, Syamsuddin Awing, menyebutkan pentingnya hadir perhutanan sosial di Sulawesi Selatan. Sedangkan Pokja, tugasnya, adalah memverifikasi sesuai usulan masyarakat ke
Kementerian, fungsi untuk menverifikasi izin perhutanan sosial.
Ia berharap program-program perhutanan di Sulsel lebih optimal. Salah satu kendala terbesar, karena kelompok kerja (pokja) perhutanan sosial belum berjalan secara optimal, padahal pokja ini berfungsi melakukan verifikasi terhadap usulan wilayah kelola perhutanan sosial.
Syamsuddin menyebutkan gubernur dalam dua minggu ke depan menginginkan agar hadirnya Pokja di Sulsel, Pokja inilah yang akan menyusun perhutanan sosial.
"Akan disusun program prioritas jangka pendek dan jangka panjang apa yang akan dilakukan. Sejauh ini drafnya sudah ada," ucapnya.
Konsep perhutanan sosial dengan leading sektor dari Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Setelah Pokja ini, mungkin ada Peraturan Gubernur, yang akan memuat terkait kewenangan izin di provinsi saja tidak usah di pusat," ujarnya.
Perhutanan Sosial yang ada di hutan lindung, atau di hutan produksi diharapkan warga yang ada disekitar sana bisa tetap sejahtera.
"Karena selama ini dari 1.032 desa di Sulsel, terdapat 50 persen masih termasuk desa miskin. Warga yang selama ini dilarang masuk, dengan adanya skema ini, baik di hutan desa, hutan kemasyarakatan bisa lebih sejahtera," jelasnya.
Namun, yang diambil masyarakat bukanlah kayu, tetapi yang diambil seperti madu dan rotan.
Ketua Lembaga Lestari Hijau Celebes, Musmahendra menambahkan dukungan Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo penting untuk memberikan ruang kebijakan, lokasi, dan anggaran bagi program ini.
"Selama ini anggaran berasal dari pemerintah pusat, kita harapkan nanti akan ada 'cost sharing' dengan pemerintah daerah, dan dengan pembentukan pokja tentu akan ada konsekuensi anggaran," tuturnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Sulsel, Muhammad Tamzil yang mendampingi Gubernur menjelaskan bahwa skim perhutanan sosial merupakan solusi masalah konflik tenurial (lahan) yang terjadi.
"Melalui program perhutanan sosial ini masyarakat dapat diberikan akses kelola dalam kawasan hutan untuk peningkatan kesejahteraan," pungkasnya.
Rabu, 14 Maret 2018 (Srf/Na)