Penjabat Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Soni Sumarsono menerima kunjungan dari Deputi Direksi BPJS Kesehatan Wilayah Sulselbartra dan Maluku, I Made Puja Yasa dan rombongan di Kantor Gubernur Sulsel, Senin (21/5).

Dalam kunjungan tersebut dibahas beberapa poin, diantaranya, terkait pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), baik dari sisi jumlah kepesertaan, dari sisi pembayaran dan ketersediaan infrastruktur pelayanan kesehatan yang harus dipenuhi. Adapun data yang diperoleh, hingga 1 Mei 2018 jumlah peserta JKN-KIS  di Indonesia sebanyak 196.662.064 jiwa (77 persen penduduk) dengan target tahun 2019 mencapai 257,5 juta jiwa (100 persen populasi).

Sedangkan untuk Sulsel, per 18 Mei 2018 jumlah peserta JKN-KIS sebanyak 8.000.987 juta jiwa (83 persen penduduk). Dengan Indeks Kepuasan Peserta 81,3 persen dan Indeks Kepuasan Fasilitas Kesehatan (Faskes) 82,0 persen. 

Gubernur sendiri menganggap bahwa peranan BPJS sangat penting, terutama memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat untuk pelayanan kesehatan. 

"Saya menekankan BPJS Kesehatan itu sangat penting. Masyarakat, kita dan PNS juga sama, kalau sudah ikut asuransi kita merasa tenang dan nyaman itu ada. itu sebenarnya harus disadarkan ke semua masyarakat," kata Sumarsono. 

Dengan jumlah mencapai 84 persen kepesertaan, maka pemerintah akan melakukan upaya sosialisasi agar kepesertaan meningkat. Karena kesehatan masuk bagian dari indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Di Sulsel, untuk progres pencapaian  universal healt coverage/UHC (jaminan kesehatan untuk seluruh penduduk) dari 9.486.874 jiwa, sebanyak 8.000.987 jiwa merupakan peserta JKN (84 persen), sedangkan non JKN 1.485.887 jiwa (16 persen).

Distribusinya, penerima bantuan iuran (PBI) APBN 3.187.443 jiwa, PBI APBD 2.263.830 jiwa, Pekerja Penerima Upah (PBU) 1.279.893 jiwa, Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU)  1.043.139 jiwa, dan Bukan Pekerja (BP) 226.736 jiwa. 

Sumarsono menilai BPJS di  Sulsel memilili kinerja yang progresif, hampir tidak ada masalah, yang menjadi masalah hanya prosedur pembayaran yang ingin disesuaikan. Saat ini pembayaran berupa mekanisme sistem, setelah dilaporkan baru kemudian kita bayar dibelakang.  

"Sekarang harapan beliau bisa tidak di depan, biasalah Saya kira kita paham ini untuk mengatur cash-flow di internal lembaga BPJS," ujarnya. 

Terkait gagasan dapat dibayar di depan dan menjadi harapan BPJS, Sumarosno memerintahkan pada jajaran terkait termasuk Dinas Kesehatan Sulsel, Badan Keuangan Daerah Sulsel dan Badan Kepegawaian Daerah Sulsel untuk merumuskan ditingkat akuntabilitas, apakah memungkinkan untuk dilakukan pembayaran di depan. 

Untuk progresif pencapaian UHC kabupaten kota sepuluh daerah dengan capaian tertinggi dan masuk zona hijau, diantaranya, Kabupetan Sidrap dengan capaian peserta 345.183 jiwa (111,5 persen), Kota Parepare 157.653 jiwa (110,8 persen), Luwu Timur 317.032 jiwa (107,8 persen), Selayar 137.459 jiwa (101,5 persen), Barru 174.689 jiwa (100,9 persen), Palopo 182.901 jiwa (100,4 persen), Takalar 283.239 jiwa (99.2 persen), Bantaeng 193.052 jiwa (98,6 persen), Sinjai 252.250 jiwa (97,8 persen) dan Luwu 359.934 jiwa (96,1 persen) 

Sedangkan daerah terendah dalam capaian persentase dan masuk zona merah, yaitu, Kabupaten Wajo 268.689 jiwa (56,7 persen).

Terkait adanya daerah yang meraih zona hijau gubernur mengapresiasi, sedangkan yang masuk zona kuning untuk didorong masuk zona hijau, sementara untuk yang masuk zona merah akan dilakukan instruksi khusus. 

Untuk petugas medis kesehatan juga menjadi perhatian serius, terumata untuk memenuhi tenaga kesehatan di daerah terpencil dengan kebijakan memberikan insentif.

"Pemerintah mendorong policy insentive buat tenaga kesehatan yang mau bekerja di pojok sulsel. Karena semua orang punya hak memperoleh kesehatan yang baik," bebernya. 

Sementara itu, I Made PY, menyebutkan program BPJS perlu didukung oleh semua pihak. Termasuk gubernur. Intruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Jaminan Kesahatan Nasional juga mengintruksikan semua penentu kebijakan terkait untuk mengambil langkah-langkah sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing dalam rangka menjamin keberlangsungan dan peningkatan kualitas pelayanan bagi peserta JKN. 

Beberapa daerah juga dijelaskannya masih terdapat persoalan pembayaran dari Kabupaten/Kota di Sulsel. 

"Di lapangan terkendala koordinasi komunikasi dan kelengkapan berita acara. Sering terjadi keterlambatan pembayaran. Kita sangat berharap dukungan dari pemerintah daerah baik kabupaten, kota maupun provinsi bila memungkinkan pembayaran di depan," harapnya. 

Ini dilakukan agar tidak menganggu lukuiditas dalam melakukan pembayaran kepada fasilitas kesehatan. 

Adapun kolektibilitas iuran Jaminan  Kesehatan Provinsi Sulsel dengan nilai total 76,5 persen atau tagihan Rp575,47 miliar sedangkan yang sudah dibayarkan bayar Rp439,97 miliar. 

Sedangkan untuk kabupaten-kota untuk Iuran PBI APBD jumlah tagihan Rp237,54 miliar, jumlah pembayaran Rp121,17 miliar atau sama dengan persentase kolektibilitas 51 persen.  Dua Pemda sudah membayar penuh, 18 Pemda sudah membayar namun belum sampai April 2018, dan empat Pemda belum melakukan pembayara di tahun 2018 diantaranya, Makassar, Sinjai, Parepare dan Toraja Utara. 

Untuk fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan sebanyak 930 fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), dokter umum 1.269, perbandingan dokter umum : peserta JKN (1:6.177) sementara rasio ideal 1:500 jadi masih terdapat kekurangan 299 dokter.

Sementara untuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) dengan jumlah tempat tidur RS 9.117, perbandingan tempat tidur RS: Peserta JKN (1:860) sedangkan rasio idela satu tempat tidur 1.000 peserta, artinya Sulsel kelebihan tempat tidur. 

Realisasi biaya pelayanan kesehatan di Provinsi Sulsel sampai dengan 30 April 2018, biaya pelayanan kesehatan Rp1.497,62 miliar, dengan rincian pelayanan rujukan Rp1.201,35 miliar (80 persen) dan pelayanan primer Rp296,26 miliar (20 persen).

Kepala Dinas Kesehatan Sulsel Rachmat Latief menjelaskan, pembayaran dilakukan bersinergi Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Provinsi dengan rasio 60:40 persen. 

"Kami mensupport 40 persen, kabupetan/kota 60 persen, ini menjadi 100 persen. Keterlambatan hanya dari mekanisme pembayaran, inilah yang akan dibicarakan apakah bisa lebih awal dan lebih cepat," jelasnya.

Senin, 21 Mei 2018 (Srf/Na)