Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) wajib menghindari kegiatan "haram". Dalam artian, kegiatan yang tiba-tiba muncul tanpa direncanakan sebelumnya.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sulsel, Jufri Rahman, mengatakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel telah meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sehingga konsekuensinya, auditnya makin rumit dan tinggi tingkatannya. Audit tidak lagi di ujung kegiatan, tapi mulai di tahap perencanaan.

"Darimana uang keluar, dan apa dasarnya mengeluarkan uang. Itu akan diperiksa auditor. Sehingga, harus ada kesesuaian perencanaan dan penganggaran," kata Jufri, di sela-sela Focus Group Discussion (FGD) Konsistensi Penganggaran Terhadap Dokumen Perencanaan Dalam Rangka Menghadapi Audit Kinerja, di Hotel Four Points by Sheraton Makassar, Selasa (25/10/2016). 

Jufri mengakui, sering ditemukan SKPD yang dalam menentukan target kinerja, output dan outcome saja sudah kesulitan. Ia mencontohan, nama kegiatan sosialisasi, namun outputnya ditulis meningkatnya pemahaman peserta sosialisasi. Meskipun kedengarannya cocok, tapi kalau di output itu harus terukur. 

"Sekarang, kalau tingkat pemahaman itu diukur dengan apa, absurd atau kabur. Yang benar itu, sosialisasi dilaksanakan outputnya jumlah yang ikut sosialisasi, maka satuannya adalah orang. Outcomesnya, adalah meningkatnya pemahaman peserta sosialisasi. Dari berapa? Dari 50 persen menjadi 70 persen. Bagaimana cara mengukurnya? Itulah sebabnya, sebelum sosialisasi dilakukan pretest. Pertanyaannya dirilis kepada peserta, mereka jawab. Kita lihat berapa capaiannya. Setelah sosialisasi untuk persoalan tertentu, kembali pertanyaan yang sama diajukan ke peserta. Kalau sebelumnya capaiannya rata-rata 70, kemudian setelah sosialisasi menjadi 90, artinya hasil sosialisasi meningkat kemampuannya 20 persen. Itu contoh kecil," terangnya.

Tidak hanya itu saja, SKPD juga kerap menuliskan nama kegiatan yang absurd. Ada nama kegiatan, tapi sebetulnya itu nama program. Contohnya, pembinaan. 

"Kata pembinaan kan berlangsung sepanjang tahun. Itu bahasa program sebenarnya, tidak bisa masuk bahasa kegiatan. Karena kalau bahasa program dijadikan bahasa kegiatan, sulit menentukan output dan outcomes. Inilah yang kita harapkan dengan FGD ini, hal-hal kecil yang mengganggu bisa direduksi di awal," ujarnya.

Untuk menghindari adanya ketidaksesuaian perencanaan dan penganggaran, lanjut Jufri, maka Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) setelah menyampaikan pagu anggaran masing-masing SKPD, mereka menyusun RKA, maka diminta setiap SKPD mempresentasikan RKA di TAPD. Tujuannya, agar jangan bolak-balik. Sehingga, pada tahapan verifikasi dan asistensi, itu semua lebih mudah dan lancar. 

"Kalau asistensi benar, tahapan evaluasi di kementerian menjadi cepat dan kurang yang menjadi catatan. Terlalu banyak catatan bisa menyulitkan kita. SKPD harus mengubah. Iya kalau masih bisa diubah. Bagaimana dengan kegiatan yang dilarang dilaksanakan, sedangkan waktu mendesak," lanjutnya.

Jufri menambahkan, pihaknya tidak bisa menyangkal, hal tersebut terkait dengan kompetensi dan kapasitas unsur perencana. Karena itu, bagian perencana harus bisa memahami cara merencanakan dengan mengacu pada dokumen yang sudah ada. Urutannya mesti benar, tidak boleh ada bias di perjalanan. 

"Jangan ada kegiatan yang tiba-tiba ada, tanpa kita ketahui dimana cantolannya. Ini harus dihindari. Kegiatan-kegiatan haram seperti itu wajib dihindari. Karena, dengan adanya audit perencanaan, itu akan ditemukan disana. Apalagi ke depan, semua akan mengacu pada sistem audit yang makin transparan, baik dan terukur," tegas Jufri.

Sementara, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Sulsel, Arwin Aziz, menambahkan, sosialisasi tersebut dilakukan agar perencanaan anggaran tersusun baik, sesuai dengan program yang telah ditetapkan.

Selasa, 25 Oktober 2016 (Dw/Er)