Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo (SYL) menyarankan agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pertemuan dengan tingkat elit seperti Gubernur dan Bupati serta Walikota se Indonesia, untuk mempercepat penyelesaian kerugian negara. Ia sebagai Ketua Asosiasi‎ Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) siap memfasilitasi pertemuan itu.

"Forum ini penting dan tidak hanya harus dipahami BPK, tapi seluruh pejabat strategis di daerah. ‎Saya menyarankan forum ini ditekan lebih jauh dan masuk ke sebuah pertemuan elit para gubernur dan bupati sehingga persidangan TPKD menjadi persidangan yang berwibawa," kata SYL, saat menghadiri‎ Forum Diskusi Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah Untuk Tim Penyelesaian Kerugian Daerah (TPKD) Pada Entitas Pemeriksaan Wilayah Sulawesi, di Gedung‎ Pusdiklat BPK Sulsel, di Kabupaten Gowa, Rabu (15/3/2017).

SYL yakin, BPK melihat forum tersebut‎ sebagai kebutuhan bagi jajaran pemerintahan. Sekaligus, harapan semua pihak agar Indonesia mampu mendorong kesejahteraan rakyat dan menjadi negara yang bermartabat.

"Masalah di pemerintahan kompleks. Pemerintah tidak hanya berpijak pada apa yang benar, tapi apa yang baik. ‎Inilah yang kadang sebagian orang tidak pahami," ujarnya.

Sementara, ‎Wakil Ketua BPK RI, Sapto Amal Damandari, mengungkapkan, pihaknya berharap opini WTP Clean and Clear sudah bebas dari indikasi korupsi. Sayangnya, faktanya tidak seperti itu. Namun, jika ada indikasi korupsi, BPK melakukan audit lanjutan berupa audit investigasi.

"Harus dipahami bahwa Opini WTP diberikan manakala pemerintah daerah atau lembaga lainnya, didalam mengelola pertanggungjawaban keuangannya sudah sesuai standar administrasi pemerintahan dan sudah patuh pada peraturan perundangan," jelasnya.

Sesuai saran Gubernur Sulsel, ia pun berharap agar Pusdiklat BPK Sulsel di Kabupaten Gowa tersebut bisa digunakan seluruh entitas di Indonesia untuk berbicara masalah pemeriksaan dan pengelolaan keuangan. Sudah menjadi tugas BPK untuk melakukan audit terhadap‎ hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, yang perlu dikelola dengan sistem pengelolaan keuangan negara.

Dalam forum tersebut, Sapto memaparkan‎ hasil pemantauan penyelesaian kerugian daerah di Wilayah Sulawesi. Dimana, terdapat 11.246 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp 508,83 miliar. Namun, dari angka tersebut telah dibayar sebanyak 7.210 kasus senilai Rp 154,59 miliar.

‎"Adapun kerugian daerah dengan penanggung jawab bendahara sebanyak 1.026 kasus senilai Rp 107,98 miliar, dan telah dikembalikan Rp 30,46 miliar atau 20,28 persen," paparnya.

Selain itu, kerugian negara dari‎ penanggung jawab PNS bukan bendahara sebanyak 8.807 kasus senilai Rp 282,81 miliar dan telah dikembalikan Rp 87,30 miliar. Sisanya, belum ditindaklanjuti senilai Rp 195 miliar.

"Ada juga kerugian negara dari penanggung jawab pihak ketiga sebanyak 1.413 kasus senilai Rp 118,03 miliar, dan telah dikembalikan Rp 36,83 miliar," lanjutnya.

Menurut Sapto, ada beberapa penyebab sehingga terjadi kerugian negara. Antara lain,‎ kurangnya pemahaman pengelola keuangan daerah. Pemahaman mereka perlu ditingkatkan, sehingga penyelesaian tidak hanya berdasarkan pembayaran tapi memperhatikan aspek pengakuan piutang, mekanisme sesuai aturan, dan pencatatan pada daftar administrasi.

"Belum mendalamnya pemahaman para pengelola dan pelaksana TPKD dalam menyelesaikan keuangan, menjadi masalah tersendiri. Ditambah dengan kendala SDM, dimana belum belum optimalnya pengetahuan mereka," urainya.

Otorisasi kewenangan dan belum optimalnya fungsi TPKD, juga bersoal mengingat peran TPKD sangat dibutuhkan. Kendala harmonisasi fungsi antar lembaga negara, seperti belum harmonisnya Pemda dengan Kemenkeu dan Pemda dengan BPK.

"Pemda perlu mengeluarkan peraturan internal sebagai tindak lanjut, menertibkan dokumen kerugian negara, validasi dan akurasi data, dan mempercepat penyelesaian kerugian daerah. Inspektorat juga harus meningkatkan fungsinya," kata Sapto.

Rabu, 15 Maret 2017 (Dw/Na)