Toleransi bagaimanapun memiliki acuan atau batasan. Pada tingkat tertentu masih bisa ditolerir prilaku, sikap dan ucapannya. Terlepas dari persoalan yang kini sedang dihadapi bangsa, mampukah kita menjaga keutuhan dalam bertoleransi?. Mau tidak mau sikap toleran kita terhadap hal yang disukai dan yang tidak disukai merupakan landasan. Semacam pemosisian kenyataan dari orang lain, tidak hanya kebaikan tapi ketidakbaikannya. Hanya itu mekanisme untuk membentuk integritas diri dalam bertoleransi.

Selera humor, dalam pergaulan suku bangsa sudah sangat biasa kelakar antar suku terlontarkan sebagai kedekatan dan keramahtamahan. Bahkan terkadang menjadikan bahan untuk saling menertawakan dengan mengolok, berkata kasar untuk mengundang tawa semata. Di televisi dan pewayangan adegan yang ditunggu adalah lawakan oleh pelawak dan punakawan. Adegan lucu seakan jadi magnet tontonan karena mampu mengundang senyum, tawa dan juga kritikan. Karakter kedaerahan seakan menjadi menu wajib diangkat sebagai bahan olok-olokan untuk gimik. Yang jadi pertanyaan bisakah hal tersebut mengubah perilaku buruk. Bercermin sekaligus introspeksi diri. Atau malah muncul sebagai tokoh antagonis?

Dalam kehidupan yang penuh dinamika dan penuh tantangan dibutuhkan kreativitas tinggi menyikapi berbagai persoalan. Tidak tegang, tidak mudah terpancing dan tidak gampang marah. Harus memiliki selera humor tinggi dan tegas dalam bersikap. Bergaul dengan semua lapisan harus rileks untuk mencetak pribadi tangguh. Jangan meninggalkan jatidiri bangsa yang komedis sebagai bentuk perwujudan bangsa yang ramah. Kemampuan mengolok-olok diri dan menertawakan diri adalah pendewasaan alamiah. Tidak hanya untuk hiburan, humor kini sudah meluas fungsinya.  Di dunia politik, humor menjadi alat kritik yang efektif. Untuk menghalau kejenuhan dalam berdiplomasi. Dengan kematangan maksimal seperti itu akan membentuk mental generasi penerus tangguh dan elegan. Tidak terlalu salah, kata Tarzan bangsa Indonesia humoris sejak lahir.

Fenomena yang terjadi di masyarakat, kebebasan demokrasi seakan mengalami degradasi makna. Demokrasi adalah instrumen penting dalam sebuah negara penganut paham keterbukaan bagi manusianya untuk bertumbuhkembang. Tak pelak dalam proses menjadi masyarakat yang demokratis niscaya mengalami rasa sakit, karena ia perlu menerima “yang berbeda”. Perbedaan identitas, paham, pemikiran “yang lain” adalah sumber rasa sakit. Berdemokrasi adalah belajar menerima, mendalami dan mengatasinya. Seorang pemimpin bukan hanya pencipta kebijakan dan mengawasi pelaksanaannya. Mereka agen kebudayaan dan peradaban, mengajari warga tabah menjalani penderitaan dengan “yang beda”. Mendengarkan dengan seksama, mendampingi agar lebih kuat dan menjadi lebih baik.

Kini bangsa sedang menapaki masa-masa kritis sekaligus ujian terhadap kebersamaan dan demokrasi berbangsa. Banyak kalangan mengkhawatirkan dan mulai bertanya apa yang akan terjadi dan sedang terjadi. Tantangan berdemokrasi kedepan mampukah menghadirkan jiwa toleran dan memiliki selera humor tinggi dalam berdemokrasi. Mendobrak berbagai batasan yang selama ini membelenggu. Belenggu itu terkadang ditetapkan dari nilai-nilai dalam masyarakat.

Dari media kita hanya mengetahui informasi-informasi permukaan. Rakyat kecil macam kita hanya punya satu jalan untuk lebih selamat dari benturan dilapisan bawah, saling berendah hati tidak tergesa menyimpulkan sesuatu yang permukaan. Memelihara persaudaraan dan itikad baik. Kita tidak usah ikut menumpahkan darah dan mari menghindar dari pertumpahan darah diantara rakyat kecil yang lemah. Setidak tidaknya kali ini kita berpikir dengan landasan “kita bangsa Indonesia”. Kita masih baru dalam cara berpikir bebas. Pastilah banyak bicara ngawur dalam menilai sesuatu hal. Marilah kita utamakan bahwa kita sedang belajar untuk perubahan menuju kebaikan dan kebersamaan semata.

Meski demokrasi Indonesia sudah kebablasan. Benar ungkapan Presiden mengingatkan, waktu kita sudah habis untuk sesuatu yang tidak produktif. Energi pemerintah tergerus untuk urusan intoleransi, radikalisasi dan demokrasi yang kebablasan. Semangat terus dijaga agar tujuan berdemokrasi bisa terwujud, menyejahterakan masyarakat, baik secara ekonomi, sosial dan budaya. Demokrasi bukan hanya di Indonesia yang mengalami ketidak seimbangan, di negara yang lebih dahulu menerapkan sistem pemerintahan yang sama juga tidak luput. Rakyat atau pemilik suara merasakan demokrasi sudah salah arah dan jadi milik para elit politik, DPR/parlemen atau kepala pemerintahan.

Bagaimana agar demokrasi bisa efektif diwujudkan dalam suasana yang kondusif ? mengkolaborasikan semua elemen demi pemerataan keadilan disemua bidang. Jangan lupa bahagia dalam situasi apapun dan tersenyum. (Iga)