Biarlah mereka mengambil mataku, mereka mengambil telingaku, mereka mengambil lidahku,

tetapi Tuhan tidak membiarkan mereka mengambil hatiku,

walau hanya itu yang kumiliki, aku masih dapat memiliki semuanya

--Helen Keller

Ketika melihat judul diatas, mungkin anda akan bertanya-tanya, apa maksud judul tersebut? Tuli yang positif? Kalau tuli, tentu saja tidak ada yang positif. Siapa yang suka menjadi tuli, tak bisa mendengar aneka nada, tak bisa menikmati beragam irama, tak mampu memahami apa yang disampaikan oleh orang lain melalui kata dan kalimat. Pokoknya tuli itu membuat hidup menjadi begitu sunyi.

Tentu dalam aktivitas keseharian anda sebagai seorang Aparatur Sipil Negara mendengarkan kalimat-kalimat dan berbagai komentar negatif yang dapat menghambat kinerja dan karir anda sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat. Kalimat tersebut bisa saja dilontarkan oleh atasan anda, rekan kerja, maupun bawahan dan keluarga anda.

Tidak usah terlalu idealis, sesekali nongkrong di warung kopi tidak akan membuat kau di pecat”, mungkin teman anda akan mengatakan demikian. Atau rekan kerja anda berujar, “Kita ini susah untuk dipromosikan, bukan keluarga pejabat sih”, atau “Tak mungkinlah kita ini bisa mendapat jabatan, semua harus pakai uang kan?” dan beragam kalimat lain.

Bila anda memperhatikan semua kalimat-kaliamt ini, tentu anda akan merasa pesimis dengan masa depan karir anda di dunia birokrasi. Kalimat-kalimat tersebut menyedot semangat dan memberangus mimpi-mimpi anda. Semangat juang untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa, rakyat dan negara menjadi berkurang, bahkan tak ada yang tersisa sama sekali.

Tapi, sebagai seorang Aparatur Sipil Negara, saya, anda dan siapa saja akan berhasil menyelesaikan dan menghadapi berbagai tantangan dan beban pekerjaan apabila kita berhasil menjadi tuli. Tuli bukan berarti harus kehilangan pendengaran, tapi bisa memilah mana yang perlu di dengar dan mana yang tidak usah dihiraukan.

Pernahkan anda mendengar kisah tentang perlombaan memanjat menara tinggi yang diikuti oleh ratusan ekor anak katak? Kisah ini bermula ketika Pangeran Katak mengadakan sayembara bagi rakyatnya (terutama para pemuda negeri katak). Pangeran akan memberikan sebuah kolam yang indah bagi anak katak yang berhasil memanjat sebuah menara yang tinggi di negeri katak.

Pada hari yang telah ditentukan, seluruh rakyat negeri katak berkumpul untuk menyaksikan peristiwa langka ini, mereka datang untuk memberi semangat kepada para peserta. Meskipun di dalam hatinya, tidak ada satupun penonton yang yakin bahwa akan ada yang berhasil memanjat menara tersebut. Ketika semua peserta sudah berkumpul di kaki menara, perlombaanpun dimulai.

Ketika anak-anak katak sudah mulai memanjat, beragam teriakan terdengar namun semuanya bernada sama: sangsi akan kemampuan para peserta. “Oh, menaranya sangat licin, tak akan ada yang bisa sampai ke puncak”, atau “Tantangannya terlalu berat, menaranya sangat tinggi” dan berbagai kalimat negatif lainnya.

Belum terlalu tinggi memanjat, anak-anak katak itupun mulai berjatuhan satu demi satu. Sekarang, hanya tersisa sedikit anak katak yang tetap bertahan dan terus memanjat dengan semangat tinggi. Mereka memanjat perlahan, semakin tinggi. Sorak-sorai penonton pun semakin riuh terdengar, seakan mencemooh mereka yang memaksa diri untuk terus memanjat.

Terlalu susah, tak akan ada yang berhasil”, atau “Lebih baik kalian mundur saja, hanya buang-buang tenaga”. Makin bersemangat anak katak itu memanjat, makin kencang teriakan kesangsian dari para penonton. Alhasil, makin banyak anak katak yang berjatuhan. Tinggal sedikit anak katak yang melanjutkan perlombaan, ditengah keriuhan penonton.

Ketika dengan perlahan anak-anak katak itu berjatuhan satu per satu, tersisa satu ekor anak katak yang tetap memanjat dengan penuh keyakinan. Perlahan tapi pasti, puncak menara hampir di gapainya. Dia Tak peduli dengan teriakan penonton yang meremehkan, dia acuh terhadap semua kesangsian. Kerja kerasnya membuahkan hasil, katak kecil itu berhasil mencapai puncak menara, sendirian.

Peserta yang gagal dan penonton yang menyaksikan perlobaan sangat penasaran dengan keberhasilan katak kecil tersebut. “Bagaimana katak kecil itu melakukannya?”, “Saya lebih kuat, kok dia bisa bertahan?” Mereka saling bertanya satu sama lain. Semua terperangah dengan kemampuan katak kecil yang di luar perkiraan semua pihak.

Seekor katak yang juga jadi peserta memberanikan diri mendekati sang pemenan dan menanyakan rahasia suksesnya. Si katak kecil hanya tersenyum, tiba-tiba seekor katak tua yang berada di samping pemenang menjawab, “Dia berhasil menjadi pemenang, karena dia tuli”.

Ya, katak kecil yang menjadi pemenang tersebut adalah seekor katak tuli. Ketulian katak kecil ini adalah sebuah ketulian yang positif. Si katak kecil justru bisa menjadi pemenang karena dia memiliki kekurangan. Dia tak bisa mendengar teriakan-teriakan dari penonton yang akan mengganggu keyakinannya dan menggoyahkan semangatnya.

Jangan biarkan orang lain mengambil sebagian besar mimpi-mimpi dan visi kesuksesan kita dengan mendengar beragam komentar negatif. Mari belajar menulikan diri, karena sebagai seorang abdi negara dan pelayan masyarakat, kita selayaknya tetap optimis akan kesuksesan kehidupan bersama di masa yang akan datang.

Helen Keller, telah menderita buta, tuli dan bisu sejak berumur sembilan belas bulan. Namun dalam perjalanan hidupnya, justru Helen Keller telah memotivasi dan memberi semangat kepada jutaan orang buta, tuli dan bisu lainnya di seluruh dunia. Bahkan dia kemudian digelari sebagai Keajaiban Dunia Kedelapan atas berbagai prestasi yang ditorehkannya.

Karena dia tuli, dia tak sempat mendengar berbagai kalimat negatif yang akan menggoyahkan keyakinan dan mengeruhkan nuraninya. Dengan ketuliannya –beserta kebutaan dan kebisuannya, Helen Keller mampu membangun visi positif bagi kesuksesan hidupnya. Komentar-komentar pesimis tak pernah dia dengarkan, dia hanya mendengarkan gelegar harapan dan mimpi-mimpi dari hatinya.

Pada sebuah kesempatan, Helen Keller berpesan, “Sesuatu yang terbaik dan terindah di dunia ini, tidak dapat dilihat ataupun disentuh, Kau harus merasakannya dengan hatimu”. Sebagai Aparatur Sipil Negara, mari kita menjadi tuli dari beragam komentar negatif dan tetap percaya bahwa kata hati merupakan kunci dari keikhlasan pengabdian kepada bangsa, rakyat dan negara. (Muhammad Kasman)