I Lagaligo adalah karya tulis dan karya lisan. Panjang ceritanya mengalahkan kisah perang saudara Mahabarata (India). Kisah ini berasal dari Sulawesi Selatan, Luwu. Bertutur tentang asal muasal kehidupan manusia di Bumi. Kini pementasannya sudah mendunia dan mirisnya masih sedikit penghuni bangsa ini yang tahu akan cerita asal negara mereka sendiri. Menarik. Nata Kusuma (mahasiswa dari Bali), antusias mengucapkan harapan besar mengetahui asal usul manusia istimewa dari Luwu.

Naskah yang berjumlah 12 jilid ini mengandung 6000 halaman, 300.000 bait syair yang menurut pengumpulnya pada abad ke-18 diawetkan baru sepertiga dari seluruh cerita. Melebihi epos India Mahabarata atau Ramayana yang jumlah barisnya antara 160.000 dan 200.000.

La Galigo dikenal dengan Sureq Selleang, Sureq Galigo atau Bicarrana (Pau Paunna) Sawerigading, merupakan sebuah kitab yang dianggap suci oleh masyarakat Luwu masa lampau. Kesakralannya hingga kini masih diyakini. Episode Turunnya Manusia Pertama ini bercerita tentang, awal mula diturunkannya manusia pertama yakni putra penguasa langit Patotoqe (penentu nasib) bernama La Togeq Langiq atau Batara Guru. “Tenangkanlah hatimu, anakku Latogeq Langiq. Turunlah ke bumi dengan hati yang lapang.

Sebuah tantangan bagi akademisi, pemerhati sejarah dan perkisahan masa lampau mengemas kisah yang menggigit dan menjawab kebutuhan anak milenial. Kita ketahui keterbukaan mengakses informasi begitu hebat, dikenal dengan istilah “tikungan sejarah”. Ironisnya naskahnya sangat sulit ditemukan di negeri ini, justru lebih banyak dijumpai diluar negeri, utamanya Belanda. Karya sastra terpanjang di dunia ini nyaris tinggal nama. Atas jasa seorang sutradara Amerika Serikat bernama Robert Wilson, hikayat Lagaligo dipentaskan secara internasional sejak tahun 2004.

Kini pementasan demi pementasan sering dilaksanakan di Fort Roterdam, festival-festival dan even-even nasional atau internasional. Sebuah terobosan memelihara ingatan akan warisan karya seni mendunia agar tetap terjaga dan terus menjadi kebanggaan masyarakat Sulsel. Pemerintah daerah Luwu juga disetiap perhelatan menjadikan menu tetap menampilkan Lagaligo. Menyiapkan entah berupa novel, naskah pementasan pembacaan puisi, atau info film semata-mata mempertebal ingatan sejarah tentang manusia istimewa dari Luwu.

Semangat I Lagaligo oleh masyarakat Luwu khususnya dan warga Sulsel umumnya tidak berlebihan pada acara Expo 2019 di Makassar masih menyelipkan agenda menjaga sejarah penting melalui informasi dalam bentuk tulisan. Kita ketahui bersama, mitos masyarakat Luwu ini bentuknya berupa tulisan Lontara kuno yang disampaikan melalui cerita atau lisan dari satu wilayah ke wilayah lain. Tradisi lisan ini berkembang hingga ke Malaysia dan Thailand. Berpindah-pindah sesuka hati, kapanpun dan dimanapun di seluruh tempat yang disinggahi Sawerigading. Hampir seluruh daerah mengangkat nilai-nilai yang ada di dalam Lagaligo. Menjadikan perekat secara langsung seluruh etnis dalam kebinekaan yang ika.

Menurut Wikipedia I La Galaligo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis Sulsel yang ditulis antara abad ke 13-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis ditulis dengan huruf Lontara kuno. Puisi ini terdiri dalam “sajak bersuku lima”  yang selain menceritakan kisah asal usul manusia juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari. Berkembang secara lisan. Dinyanyikan, didendangkan pada perhelatan acara adat tradisional penting Bugis. Mewariskan nilai-nilai yang ada di Lagaligo. Hanya orang tertentu yang memiliki manuskrip. Perspektif orang Bugis para bissu, pasure dan To Lotang adalah para penyimpan dan pewaris I Lagaligo. Karya sastra ini tidak akan pernah mati, lahir sebelum islam datang.

Menjual Warisan Leluhur  

Jika karya seni dianggap warisan adiluhung dari leluhur maka generasi yang mendapatkan keuntungan berupa uang atau materi lain dari pementasan karya leluhur, ini bisa dikatakan “menjual warisan leluhur”. Tentu berbeda dengan menjual tanah warisan, tanahnya habis. Jika jual karya seni warisan leluhur tidak akan pernah habis meskipun dijual berkali-kali di festival-festival dalam dan luar negeri, di hotel, di restoran,  Karena melalui pementasan seni inilah generasinya bertumbuh dan bisa menikmati percikan rezeki. Boleh sepuluh persen, boleh dua puluh persen, bahkan lima puluh persen.  Dimaksudkan untuk menghargai karya seni semata. Dan meminimalisir kisah sedih tentang anak cucu seniman besar hidup dalam kekurangan sampai tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak (A.Ole).

Pengalaman menyedihkan yang dikisahkan A. Ole dari Bali hanyalah sebagai refrensi siapa tau bisa di terapkan pada kebijakan pemerintah daerah Luwu atau mungkin sudah diapresiasi?. Sebaiknya intensitas menggalakkan cerita legendaris dari Sulsel ini tidak disentuh sebatas ada even. Minimal telah dibentuk sebuah wadah kongrit untuk bersaing dalam kreativitas seni klasik dengan daerah lain seperti Bali atau negara lain yang keseniannya maju. Dan jasa seniman pendahulunya sekarang menjadi agenda tetap diberikan apresiasi berupa uang, bea siswa dll. Dengan cara apapun pemerintah selayaknya memperjuangkan hak ahli waris atas kemasyhuran kisah yang me-legenda karya leluhur. Sebuah upaya menolak lupa.

Menjaga nilai luhur yang diwariskan pada kita hendaknya disikapi dengan bijak. Pelajaran dari sebuah cerita, yang bermanfaat bagi kehidupan diambil dan yang memberikan pelajaran buruk, tinggalkan. (Mks-IGA.K).