Makassar, sulselprov.go.id - Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar Prof. Nurhayati Rahman menyebut Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan Moh. Hasan Sijaya sebagai pejuang tangguh dalam menghidupkan akasara lontaraq, bahkan menurutnya perjuangan tersebut bukan hanya menghidupkan huruf tapi sekaligus bahasa.

“Ini adalah warisan abadi sebetulnya dari Pak Kadis. Tidak banyak pemimpin yang punya perhatian seperti ini, mungkin dia pikir kampungan ji ini huruf, ngapain mau dianggarkan untuk pelestariannya,” ujar Nurhayati.
Pernyataan itu disampaikan Prof. Nurhayati Rahman ketika tampil menjadi pembicara Pada Seminar Aksara Lontaraq dengan tema menyongsong Penerapan Perda Aksara Lontaraq yang dilaksanakan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Sulawesi Selatan bekerjasama dengan Kabar Grup Indonesia di Lantai I Ruang Layanan Perpustakaan Umum DPK Sulsel Jl. Sultan Alauddin Km. 7 Tala’ Salapang Makassar, Sabtu (15/10/2022). 
Seminar Aksara Lontarq ini diikuti peserta dari berbagai kalangan di Sulawesi Selatan, kepala dinas perpustakaan kabupaten kota, pustakawan, seniman, budayawan, penulis, akademisi, pegiat literasi, guru, siswa dan masyarakat umum baik secara luring maupun secara daring (zoom meeting).
Pakar Filologi Unhas ini, tampil dengan judul materi Lontaraq sebagai Sumber Pemersatu dan Integrasi Bangsa di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Menurutnya salah satu puncak pencapaian tertinggi dalam sejarah umat manusia karena ditemukannya huruf. Sulawesi Selatan sebenarnya sangat kaya dan luar biasa karena pernah mempunyai empat huruf yaitu huruf jangan-jangan, huruf Arab Serang, Huruf Bilang-Bilang dan Huruf Lontaraq. Namun seiring berjalannya waktu sisa satu huruf yang bertahan yaitu Lontaraq dan ini dipakai di seluruh Sulawesi Selatan.
“Dia bertahan satu-satunya yang menggeliat-geliat dalam kegersangan, bertahan dalam situasi seperti ini, hampirmi juga tidak ada orang yang bisa membaca lontaraq. Karena itu, gerakan yang dilakukan oleh beliau Kepala Dinas Perpustakaan ini saya anggap sebagai momen sejarah yang paling penting. Karena tinggal satu dan yang satu ini pun sudah menggelepar-gelepar menunggu maut, tapi ada yang menyelamatkannya,” tegasnya
Olehnya itu, Prof. Nurhayati mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Hasan Sijaya.
“Sama pentingnya antara aksara lontaraq yang terselamatkan dengan penyelamat aksara lontaraq melalui Gerakan Kebudayaan yang dilakukan oleh Kepala Dinas Perpustakaan, dua-duanya meninggalkan momen sejarah yang paling penting dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Pelihara ini karena ini adalah identitas kita,” pintanya.  

Selain Prof Nurhayati Rahman, juga tampil sebagai pembicara dalam seminar ini Anggota DPRD RI Ajief Padindang yang menekankan bahwa aksara dalam pengertian suatu pengetahuan yang mewakili jati diri seorang Sulawesi Selatan.
Selain sebagai senator, Ajief Padindang juga dikenal sebagai praktisi dalam penyelamatan aksara lontaraq yang telah merintis berdirinya Sekolah Budaya di Bone, Wajo, Luwu dan Luwu Utara, yang mengajarkan siswanya memperdalam bahasa sastra, tradisi, sejarah budaya dan ade panggadereng. 
Sementara itu, Kepala DPK Sulsel Hasan Sijaya mengungkapkan kegiatan seminar yang merupakan bagian dari Festival Aksara Lontaraq ini adalah gerakan Bersama, dimana DPK Sulsel hanya memfasilitasi para seniman, budayawan, penulis, akademisi dan lainnya yang ingin melihat, memperhatikan dan mempunyai empati bahwa warisan budaya berupa aksara lontaraq tidak boleh sirna. 
Menurutnya, Festival ini yang ketiga kalinya dilaksanakan tahun 2020, 2021 dan 2022, dengan segala instrumen yang dimainkan di dalamnya, ada Lomba Lagu Daerah, Lomba Mewarnai Batik Lontaraq, Story Telling berbahasa daerah, Pameran dan sebagainya. 
“Yang menjadi tujuan dan mimpi kita bersama, mudah-mudahan akan tercipta suatu peraturan daerah yang membuat kita semakin luwes bergerak. Karena Yayasan, lembaga-nya sudah ada kalau ditempel dengan regulasi kita Perda, keleluasaan kita untuk terus mensosialisasikan dan menjabarkan program-program terkait dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait naskah kuno atau aksara lontaraq ini bisa kita jalankan sesuai apa yang menjadi keinginan kita sama-sama, “tuturnya.  
Pada Seminar ini juga tampil Rusdin Tompo, yang mengulas kilas balik perjalanan dilaksanakannya Festival Aksara Lontaraq dan perjalanan Ranperda Literasi Aksara Lontaraq yang saat ini sedang digodok di DPRD Sulsel yang merupakan hal inisiatif dari Anggota Komisi E DPRD Sulsel. 
“Saya baru dengan tadi bahwa, awal-awalnya ketika pak Upi Asmaradhana menawarkan gagasan ini dengan berbicara kepada H. Syahruddin Umar (mantan Kabid dan Sekdis DPK Sulsel yang beralih menjadi Pejabat Fungsional Pustakawan), katanya ide ini mau dibawah ke Dinas Pendidikan, tapi kemudian H. Syahruddin Umar bilang di sini mi. Pas dapat juga momen ketemu pak Kadis yang sangat familiar, sangat menyambut baik ide ini dan kita sampai pada posisi hari ini,” paparnya. 
Sebelumnya, mengawali seminar, Upi Asmaradhana yang merupakan Founder dan CEO Kabar Grup Indonesia yang tampil menyampaikan pengantar menyebut Hasan Sijaya sebagai Kadis Tena Ruanna (Kadis tidak ada duanya) yang selama tiga tahun terakhir ini telah mengawal Festival Aksara Lontaraq. 
Upi Asmaradhana yang juga Duta Literasi Digital Sulawesi Selatan ini juga melaporkan bahwa tahun ini sudah terbentuk sebuah yayasan yakni Yayasan Aksara Lontaraq. Rencananya tahun depan juga akan digelar pelaksanaan Festival Aksara Lontaraq yang keempat. Tahun ini, telah ditetapkan duta Lontaraq yaitu Qayla Raya RY siswi kelas 12 SMA Negeri 1 Makassar, yang salah satu buku karyanya yaitu Lontaraq Jangan-Jangan yang dikemas dalam bentuk e-book telah dilaunching pada rangkaian acara Festival Aksara Lontaraq ke-3 di Kantor DPK Sulsel, Jumat (14/10/2022).
Pada kesempatan itu Upi Asamaradhana juga menyampaikan terima kasih kepada Kepala DPK Sulsel dan jajarannya yang telah memberi ruang bagi para budayawan, seniman, penulis, aktivis, jurnalis, akademisi sehingga Festival Aksara Lontaraq ini oleh Prof Nurhayati disebut sebagai sebuah gerakan kebudayaan untuk menyelamatkan warisan yang sangat luar biasa yang dimiliki Sulawesi Selatan. Tidak banyak bangsa-bangsa di dunia yang memiliki aksara dan ketika sebuah bangsa atau masyarakat memiliki aksara itu menandakan bahwa peradaban masyarakat itu cukup tinggi. 
Selanjutnya menurut Upi, transformasi dan sosialisasi untuk mendorong masyarakat Sulawesi Selatan agar bangga dengan budayanya sendiri akan terus dilakukan. Diharapkan melalui Perda Literasi Aksara Lontaraq nantinya menjadi regulasi yang ‘memaksa’ masyarakat menggunakan aksara dan bahasanya sendiri. (*)