“Tak ada orang yang dapat merenggut harga-diri kita kecuali jika kita menyerahkannya kepada mereka”
--Mahatma Gandhi
Seorang teman saya yang menjadi Aparatur Sipil Negara dan ditugaskan menjadi seorang Sekretaris di sebuah Kelurahan mengeluh, “Saya sudah berpikir proaktif, tapi kok situasinya belum juga berubah?” Situasi yang teman saya maksud belum berubah tersebut adalah Lurahnya yang masih saja tetap otoriter dalam mengambil kebijakan, serta rekan kerjanya yang masih saja masa-bodoh dengan tugas pokoknya sebagai pelayan masyarakat.
Tentu keresahan teman saya ini juga menjadi keresahan kita bersama, anda dan saya tentu saja. Jangan-jangan berpikir proaktif hanyalah teori ‘pepesan kosong’ yang manis di mulut tapi tidak mampu menyelesaikan persoalan di tingkat praktis. Saya juga sempat berpikiran demikian, namun setelah saya mendapatkan pengakuan dari teman tersebut beberapa bulan kemudian, ternyata pilihannnya menjadi proaktif telah memberi efek yang luar biasa bagi dirinya pribadi dan lingkungan tempat dia kerja.
Perubahan pertama yang dia rasakan adalah apa yang selama ini dia anggap penjara dan membuatnya jenuh, tidaklah seburuk yang dia pikirkan sebelumnya. Atasannya tidaklah sangat otoriter, rekan kantornya juga tidak cuek-cuek amat. Kuncinya adalah pada konsistensi dan komitmen untuk terus mengaplikasikan berpikir proaktif dalam setiap aktivitasnya.
Pilihan teman saya itu untuk menjadi lebih produktif secara perlahan ikut mempengaruhi lingkungan kerjanya menjadi lebih baik. Secara tidak sadar, teman tersebut telah mengaplikasikan apa yang disebut oleh Stephen R. Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People sebagai tokoh transisi.
Menjadi tokoh transisi berarti bekerja dengan kesadaran, “Kalau kau tidak bisa menganjurkan orang lain untuk berbuat kebaikan, maka minimal engkau dapat mengurangi satu pelaku keburukan, yaitu dirimu sendiri.” Seorang tokoh transisi menurut Stephen R. Covey adalah mereka yang meninggalkan perilaku tidak sehat, berbahaya, buruk, atau tidak benar dan menggantikannya dengan perilaku proaktif, menolong serta perilaku efektif.
Teman saya telah memanfaatkan pikiran proaktifnya dengan memilih mempengaruhi rekan kerja bahkan atasannya secara positif melalui tindakan-tindakan dan teladan yang diperlihatkan melalui kinerja. Dia tidak harus menceramahi rekan kerja apalagi atasannya untuk menjadi proaktif –karena memang itu di luar kekuasaannnya, tapi cukup dengan menularkan kebiasaan-kebiasaan efektif yang memperkuat serta membangun orang lain secara positif.
Dalam sebuah kisah, diceritakan tentang seorang dokter yang membuka tempat praktek di sebuah kota kecil. Suatu sore, datang seorang ibu muda bersama anaknya yang baru berusia empat tahun. Karena tempat tersebut merupakan satu-satunya tempat dokter praktek di kota itu, maka ibu itu harus antri cukup lama baru mendapatkan giliran.
Ketika gilirannya tiba, si ibu bersama anaknya masuk menghadap dokter di ruang praktek. setelah mempersilahkan si ibu duduk pada kursi yang tersedia, terjadilah dialog singkat ini.
“Ada yang bisa saya bantu, Bu?” Tanya dokter muda itu sopan.
“Ini Dokter, tolong nasehati anak saya agar tidak lagi makan permen.” Melirik anaknya.
“Baiklah, Ibu bisa datang lagi pekan depan.” Jawab sang dokter sambil mengantar ibu dan anaknya ke pintu.
Singkat cerita, minggu berikutnya si ibu dan anaknya datang lagi ke tempat dokter tersebut, terjadilah dialog berikut.
“Dokter, sebagaimana permintaan saya minggu lalu, tolong nasehati anak saya ini agar tidak lagi makan permen.”
Sambil berdiri, mendekati anak tersebut lalu mengelus kepalanya, sang dokter menasehati.
“Anak baik, jangan makan permen ya, nanti gigi kamu sakit.”
Setelah itu, sang dokter mempersilakan si ibu dan anaknya meninggalkan ruang praktek. ketika berjalan menuju pintu, sang ibu berbalik dan mendekati dokter lalu bertanya dengan penuh penasaran.
“Dokter, hanya untuk menyampaikan satu kalimat itu, anda meminta saya untuk menunggu sepekan?”
“Ibu, mohon maafkan saya. Saya tidak dapat meminta anak anda untuk tidak makan permen minggu lalu, karena saya juga masih mengkonsumsi permen.” Sambil berdiri di samping si ibu.
“Jadi?” Si ibu kian penasaran.
“Ya, sekarang saya sudah berhenti makan permen.” Sang dokter tersenyum kalem. Sementara itu, si ibu melangkah pergi mengikuti langkah anaknya dengan muka keheranan.
Dokter itu, seseorang yang dengan gamblang telah memperlihatkan kepada kita semua bahwa menjadi proaktif harus dibarengi dengan perilaku positif, kebiasaan efektif, konsistensi, dan keteladanan. Sebagaimana fatwa Stephen R. Covey bahwa manusia transisi adalah mereka yang secara sadar memotong habis pola-pola perilaku reaktif dan menggantikannya dengan yang proaktif.
Seorang Aparatur Sipil Negara yang menempatkan dirinya sebagai tokoh transisi, selayaknya mampu menjadi contoh bagi rekan kerja, atasan dan masyarakat pada umumnya. Datang ke kantor tepat waktu, tidak menunda pekerjaan, dan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat adalah sebagian kecil contoh yang bisa dilakukan.
Tidak menerobos traffic light ketika berwarna merah, santun dalam berkendara, taat pada antrian, bayar pajak tepat waktu, dan tidak memanfaatkan statusnya sebagai Aparatur Sipil Negara untuk mendapatkan perlakuan istimewa dalam proses pelayanan publik adalah contoh lain dari pribadi Aparatur Sipil Negara yang proaktif. Tidak berat bukan? (Muhammad Kasman)