Kehidupan masyarakat tak bisa dipisahkan dari birokrasi. Sejatinya, birokrasi adalah sekumpulan pekerja profesional yang tertata dalam jenjang karier dengan tugas dan tanggung jawab tertentu dalam mengimplementasikan kebijakan publik yang diambil oleh para decision maker.

Tugas Mulia Birokrasi

Menurut A. P. Rukka (2018), tugas dan tanggung jawab dalam mengimplementasikan kebijakan publiklah, yang membuat posisi birokrasi menjadi amat strategis dan sistem politik pemerintahan. Kualitas sebuah kebijakan publik yang dirumuskan oleh para politisi hanya bisa terlihat dari kerja - kerja birokrasi.

Karena perannya yang strategis, birokrasi harus dikelola secara profesional. Birokrasi disusun menjadi sebuah struktur berjenjang, dimana setiap birokrat, memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk menapaki jenjang jabatan yang ada. Proses penjenjangan tersebut dijalankan melalui sebuah sistem penilaian yang berbasis merit atau prestasi.

Mekanisme ini, selain untuk mengefektifkan kerja - kerja birokrasi, juga memberi kesempatan bagi birokrat yang memiliki kapasitas dan kompetensi mumpuni agar bisa menduduki jabatan yang lebih tinggi dan strategis. Penjenjangan berbasis kompetensi ini menjadi jaminan bagi birokrasi agar bekerja secara profesional.

Meski sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial, birokrasi tak lepas dari pro dan kontra. Miftah Thoha, dalam bukunya yang berjudul Birokrasi dan Politik di Indonesia (2003), mencurigai birokrasi sebagai kerajaan pejabat. Birokrasi tak lebih dari metamorfosis feodalisme dalam bentuk yang lebih rasional.

Namun baik yang pro maupun yang kontra dengan keberadaan birokrasi, pada dasarnya bersepakat bahwa secara azali, birokrasi dihadirkan untuk mengabdi pada kepentingan rakyat melalui kebijakan publik yang populis. Birokrasi menjadi sarana mewujudkan kepentingan publik melalui kebijakan dan tindakan rasional, terukur, efektif dan efisien.

Birokrasi Yang Bunuh Diri

Dalam perjalanannya, tak sedikit godaan menerpa birokrasi, pun bagi para birokrat –individu yang menjadi penggerak mesin birokrasi, tarikan kepentingan tak henti menggoyahkan idealisme. Dinamika pemerintahan di berbagai level menjadi saksi, tak sedikit birokrat, pun birokrasi sebagai institusi mengingkari kodratnya sebagai pelayan publik. Kondisi ini, menyeret birokrasi ke jurang nekrofilia.

Nekrofilia, menurut Erich Fromm adalah ketertarikan untuk mencintai hal – hal yang berbau anti kehidupan dan kemanusiaan. Dalam konteks birokrasi, nekrofilia hadir dalam sikap dan perilaku yang menentang hakikat kehidupan birokrasi sebagai pelayan publik. Birokrasi yang nekrofilia akan mengabdikan diri pada hal – hal yang justru merugikan dan membunuh kehidupan publik.

Ali – alih menjadi pengabdi publik, birokrasi mengabdi bagi dirinya sendiri. mereka memanfaatkan wewenang dan kekuasaan untuk mengelola sumberdaya pemerintahan untuk kepuasan dirinya. Modusnya, memperbanyak kegiatan yang memberinya keuntungan, seperti perjalanan fiktif atau perjalanan yang tidak tepat sasaran, mark up pembiayaan, pungutan liar, suap, serta gratifikasi.

Birokrasi nekrofilia juga menjelma menjadi pengabdi kepentingan atau kelompok politik tertentu. Ini merupakan titik temu antara kepentingan pimpinan daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian yang seorang politisi –terutama pada saat pilkada, dengan hasrat seorang birokrat dalam meraih jabatan tertentu. Seorang birokrat akan berusaha membuat program dan kegiatan untuk mendukung kepentingan politik pimpinan dengan harapan akan mendapatkan posisi tertentu pasca pilkada.

Peran APIP

Untuk meminimalisir kecenderungan nekrofilik, birokrasi perlu senantiasa diingatkan akan kodratnya sebagai pelayan publik. Selain itu, penguatkan peran pengawasan dari Inspektorat Daerah selaku Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) juga perlu dilakukan. Salah satunya dengan mengintensifkan audit kinerja, di samping audit keuangan dan audit kepatuhan.

Audit kinerja merupakan suatu proses yang sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif, agar dapat melakukan penilaian secara independen atas ekonomis dan efisiensinya sebuah kegiatan, efektivitas pencapaian hasil yang diinginkan dan kepatuhan terhadap perencanaan, kebijakan, serta peraturan yang berlaku.

Melalui Audit Kinerja, APIP bisa menilai kesesuaian antara kinerja yang dicapai birokrasi dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga alokasi anggaran, serta tujuan dan sasaran dari program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh birokrasi, tidak menyimpang dan semata – mata hanya untuk memenuhi kebutuhan publik.

Muhammad Kasman, S.E., M.Si. (Auditor Muda Inspektorat Daerah Prov. Sulsel)